Ngaben

Yadnya

Berbicara mengenai pelaksanaan dari upacara Pitra Yadnya, sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang luhur serta memiliki makna yang amat luas, khususnya dalam rangka memproses pengembalian Panca Maha Bhuta kepada kesucian dan kemurniannya semula, agar terlepas dari pengaruh Mayanya Sang Hyang Widhi, karena sudah pernah bersemayam kedalam tubuh makhluk manusia.

Oleh karena itu kekuatan Panca Maha Bhutanya perlu diproses pengembaliannya melalui pelaksanaan upacara Pitra Yadnya, agar kembali kesumbernya yakni kehadapan Sang Hyang Prakerthi sebagai kekuatan ACENTANA dari kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Pitra Yadnya merupakan persembahan suci kepada leluhur.
Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya telah dilaksanakan oleh umat Hindu dari sejak dahulu kala hingga sekarang, dan menjadi pedoman keyakinan dan kepercayaan sebagai salah satu pengalaman ajaran Agama Hindu khususnya di Bali.

Jenis-jenis pelaksanaan Pitra Yadnya secara garis besar dapat dibagi dua yaitu :
a. Pemeliharaan ketika ia masih hidup
b. Penyelenggaraan upacara setelah kematian

Pemeliharaan orang tua ketika masih hidup, berupa memelihara kesehatan menjamin ketenangan batinnya dan selalu memuaskannya. Memuaskan batin orang tua dapat ditempuh dengan bermacam-macam cara. Namun cara yang terpenting adalah selalu mengindahkan nasehatnya dan mohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil. Inilah beberapa hal yang dapat menentramkan hati orang tua itu. Inilah pelaksanaan pitra yadnya, ketika ia masih hidup. Pelaksanaan upacara setelah kematian adalah yang dimaksud penyelenggaraan jenazah (sawa)nya, dan penyelenggaraan penyucian rohnya untuk dapat kembali kepada asalnya.

Adapun perincian upacara kematian adalah :
a. Membersihkan sawanya (mersihin)
b. Mendem atau ngurug sementara karena suatu hal belum bisa diaben
c. Ngaben / atiwa-atiwa
d. Mroras / memukur

Upacara tersebut di atas disebut dengan sawa wadana, yang artinya penyelenggaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan, upacara mroras adalah upacara penyucian rohnya atau atma wedana.

Adanya nilai etika yang terkandung kedalam pelaksanaan dari suatu upacara adalah merupakan manifestasnya dari nilai tattwanya, sehingga umat Hindu bisa memiliki prilaku yang berbudhi luhur, sebagai dasar berkarma selama hidup didunia, untuk mencapai “subhakarma”. Di samping ajaran etika adalah berfungsi untuk membentuk umatnya, bagi umat yang buta aksara atau memiliki gangguan mental, walaupun mereka tidak bisa mengucapkan “Mantra” atau mengucapkan sloka-sloka dalam “Weda”.

Pengertian Ngaben Sawa Wedana

Menurut Renward Branstetter dalam bukunya akar kata dan kata dalam bahasa-bahasa Indonesia terjemahan Sjaukat Djajaningrat tahun 1957, kata Ngaben adalah Bahasa Bali yang berasal dari kata “Api”. Kata Api ini mendapat prefik sengau “ng” dan suffic “an” sehingga kemudian menjadi “Ngapian” kata Ngapian lalu menjadi sandhi Ngapen. Huruf P B W adalah satu warga sehingga “P” berubah menjadi “b”. Dengan demikian kata Ngapen menjadi “Ngaben” yang artinya menuju api. Api dalam lambang Agama Hindu yaitu lambang Brahma. Jadi kata Ngaben artinya perjalanan menuju alamnya Brahma. Memperhatikan kata Ngaben sebagaimana disebutkan di atas adalah tepat sekali karena fungsi Ngaben adalah melepaskan atma dari ikatan stula sarira (Panca Maha Bhuta).

Sesungguhnya manusia lahir dibentuk oleh tiga kekuatan Sang Hyang Widhi yaitu dari kekuatan Prakerthinya (Acentana) dari Sang Hyang Widhi menciptakan adanya kekuatan Panca Maha bhuta dan kekuatan Panca Maha Bhuta menciptakan adanya “Stula Sarira” antara lain :

  • Kekuatan pertiwi menciptakan adanya kulit
  • Kekuatan teja menciptakan adanya darah daging
  • Kekuatan akasa menciptakan adanya urat-urat
  • Kekuatan bayu menciptakan adanya tulang-belulang
  • Kekuatan apah menciptakan adanya sumsum

Setelah stula sarira terbentuk dan agar bisa stula sarira hidup dan berkembang sebagaimana mestinya maka didukung oleh kekuatan Purusanya (Cetana) Sang Hyang Widhi, yang bersifat kekuatan “jiwa” sebagai kekuatan penyebab dan membentuk suatu badan yang disebut “Anta Karana Sarira”. Demikian juga agar kehidupan Anta Karana Sarira bisa berkesinambungan untuk memberikan kehidupan terhadap stula sarira, maka Sang Hyang Widhi dengan sebutan “Paramatma”, bermanifestasi melalui kekuatan PrajapatiNya, menjadi kekuatan “Atma”, sehingga dapat bersemayam ke dalam setiap makhluk hidup di alam semesta dan membentuk suatu badan yang disebut badan Atma atau “Suksma Sarira”. Dengan demikian hanya manusia sajalah yang mewakili tiga unsur badan, sehingga memiliki “Tri Pramana” yaitu Sabda, Bayu dan Idep.

Sawa Wedana

Atma dibelenggu oleh dua lapisan sarira yang disebut stula sarira dan suksma sarira, karena itu upacara penyucian inipun ada dua tingkatan. Tingkatan pertama adalah melepaskan atama dari ikatan stula sarira disebut Sawa Wedana. Sawa Wedana artinya orang yang telah mati (sawa). Dengan kata lain mengupacarai jenazah orang yang baru meninggal, sering juga dalam masyarakat disebut Ngaben dadakan.

Ngaben Sawa Wedana
Yang dimaksud dengan pelaksanaan upacara pengabenan Sawa Wedana adalah upacara pengabenan yang dilaksanakan disertai dengan adanya jenazah. Dengan kata lain orang yang secara langsung diaben setelah meninggal tanpa ditanam terlebih dahulu ke setra.

Pelaksanaan Ngaben Sawa Wedana

Jenazah saat dirumah, dibersihkan sesuai dengan upacara mependem, selanjutnya jenazah diusung ke kuburan. Setelah tiba dikuburan, jenazah mengelilingi tempat pembakaran yang telah disediakan.
b. Jenazah diletakkan di atas petulangan atau tempat pembakaran, lebih awal pembungkus kain dan tikar dibuka. Kemudian dilanjutkan upacara metirta, pertama di perciki tirta :
– Penembak
– Pengelukatan
– Pengentas
– Kawitan
– Kahyangan Tiga
c. Di atas dada jenazah diletakkan bekal roh seperti :
– Canang tujuh tanding
– Beras catur warna, masing-masing satu ceper warna : putih, merah, kuning dan hitam.
d. Setelah selesai upacara seperti di atas lalu jenazah dibakar dengan api upacara.
e. Setelah jenazah menjadi arang, lalu dituangkan air tawar yang disebut penyeeb.
f. Arang dikumpulkan lagi di taruh di atas senden, lalu disiram dengan air kumkuman, kemudian dimasukkan kedalam kelapa gading yang berwujud Puspa Ati. Abu yang lain diwujudkan manusia simbolis, kemudian dipasang kwangen. Pemasangan kwangen dikelompokkan yaitu :

1) Kelompok garis lurus dari :
– Dahi
– Kerongkongan
– Hulu ati
– Puser
– antara Puser dengan kemaluan
– antara kemaluan dengan pantat
2) Kelompok Panca Budindria
– Mata
– Hidung
– Mulut
– Lidah
– Telinga
3) Kelompok Panca Karmendria
– Perut
– Kemaluan
– Pantat
– Tangan
– Kaki
g. Kelengkapannya disertai banten upacara pesaksi ke Mraja Pati, pengulun setra, bubur pirata, nasi angkep, banten arepan, ketupat panjang, diuskamaligi, puspa, rantasan untuk rerek kayan. Pemangku atau pendeta memimpin upacara persembahan dari sanak keluarga almarhum. Persembahan itu ditujukan kepada Hyang Surya, Mraja Pati, Kahyangan Tiga, dan Sesuhunan (Kawitan). Setelah tiba, diawali dengan upacara daksina, pras penganyutan dan wangi-wangian, barulah abu dibuang ke sungai. Dengan demikian selesailah sudah tahapan upacara Sawa Wedana itu.

Maksud dan tujuan

Maksud
Secara garis besarnya, ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Maha Bhuta pada badan untuk menyatu dengan Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma kealam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan duniawi itu. Hal ini diwujudkan dengan upacara “Ngentas Sawa” dengan tirta pengentas. Tirta pengentas artinya memutuskan kecintaan di dunia. Dengan memutuskan kecintaan atma dengan dunianya, ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam pitra. Dalam perjalanan atma itu perlu bekal atau “beya” yang merupakan oleh-oleh bagi saudara empatnya yang sudah menunggu dalam wujud sebagai kala, yaitu : Dora Kala, Mahakala, Jogor Manik, Suratma. Dengan bekal atau beya itu diharapkan atma dapat kembali dengan selamat.

Tujuan
Tujuan upacara Ngaben adalah agar ragha sarira tepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Mahabhuta di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitara. Oleh karenanya, Ngaben sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Selain itu untuk mendapatkan keselamatan, ketenangan dan juga mendapatkan sorga bagi sang pitra.