Siwa Tatwa

Filsafat

Memahami Siwa Tattwa Di Bali” ini menggunakan beberapa sumber Lontar seperti : Bhuwana Kosa, Wrhaspati  Tattwa, Ganapati Tattwa. Lontar-lontar  tersebut adalah sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Adapun ikhtisar masing-masing Lontar tersebut adalah :

A.  Bhuwana Kosa

                  Bhuwana Kosa adalah nama salah satu lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang di pandang sebagai Lontar  tertua dan  sumber lontar-lontar tattwa yang bercorak Śiwaistik lainnya, seperti : Wrhaspatitattwa, Tattwajñāna, Maha jñāna, Ganapatitattwa dan sebagainya.
                  Dari segi  isi secara garis besar Bhuwana Kosa dapat dibagi  menjadi dua bagian yaitu : Bagian pertama  adalah bagian Brahmarahasyam, yaitu : bagian yang berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan Bhatāra Śiwa  tentang Śiwa yang  bersifat sangat rahasia. Sedangkan bagian   kedua adalah :  bagian Jñānarahasyam yang berisi percakapan antara  Bhatāra  Śiwa dengan Bhatāri Umā dan Sang Kumara tentang pengetahuan untuk memahami Śiwa yang bersifat sangat rahasia.
                  Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu : Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. Ia yang tak terbatas digambarkan secara  terbatas, karena  itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara/Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra  Śiwa dijelaskan  juga bersifat  immanent dan transcendent. Immanent  artinya : Ia meresapi segalanya, hadir pada segala  termasuk meresap pada pikiran dan  indriya (sira wyapaka),  dan Transcendent  artinya : Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan  indriya. Meskipun Ia Immanent  dan Transcendent  pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata,  karena Ia bersifat sangat  rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia  digambarkan  bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak,  tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia  adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia (Bhuwana Alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya  itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.

B.  Wrhaspatitattwa

                  Wrhaspatitattwa dijelaskan terdiri atas 74 pasal dan menggunakan bahasa Sanskerta  dan bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang  dimaksud sebagai terjemahan/penjelasan Sanskertanya.
                  Wrhaspatitattwa  berisikan  dialog antara seorang guru spiritual  yaitu Sanghyang  Iswara  dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati. Sanghyang Iswara berstana di pucak Gunung Kailasa yaitu sebuah  puncak gunung Himalaya  yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan  Wrhaspati adalah orang suci  yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga.
                  Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan di dalam dialog itu adalah : Kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur  kesadaran dan Acetana adalah unsur  ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala  yang ada. Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu : Parama  Śiwa Tattwa, Sada Śiwa Tattwa, dan Śiwatma Tattwa, yang juga disebut dengan Cetana Telu (tiga tingkatan kesadaran). Yang ketiganya  itu tidak  lain adalah Sanghyang Widhi sendiri yang telah  berbeda  tingkat kesadarannya. Paramaśiwa memiliki tingkat  kesadaran  tertinggi, Sadaśiwa  memiliki tingkat kesadaran menengah, dan  Śiwatma memiliki tingkat  kesadaran yang terendah. Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh māyā. Paramaśiwa bebas dari pengaruh māyā sedang-sedang saja, sedangkan Śiwatma mendapat pengaruh  Māyā yang paling kuat.
                  Sanghyang Widhi  Paramaśiwa adalah kesadaran  tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh  belenggu  mayā, karena itu Ia disebut “Nirguna Brahman”.  Dan  Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas.
                  Kemudian  Paramaśiwa kesadarannya  mulai tersentuh oleh māyā. Dan pada saat seperti itu, Ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna dan swabhawa yang merupakan  hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaśiwa. Yang memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan SthanaNya. Pada tingkatan  Paramaśiwa ini digambarkan  sebagai perwujudan  mantra disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan : Iswara (I) sebagai  kepala, Tatpurusa sebagai muka (TA), Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat-alat  rahasia, Sadyojata (SA) sebagai badan. Dengan Sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala  ciptaan-ciptaanNya, karena itu, Ia disebut “Saguna Brahman”.
                  Pada tingkatan  Śiwatma Tattwa, sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah  dipengaruhi oleh māyā. Karena itu  Śiwatma Tattwa disebut juga Māyā Sira Tattwa. Berdasarkan  tingkat pengaruh māyā terhadap  Śiwatma Tattwa,  Śiwatma Tattwa tersebut dibedakan atas  delapan tingkatan yang disebut “Astawidyasana”. Dapat dijelaskan juga disini bilamana pengaruh māyā sudah demikian besarnya terhadap  Śiwatma menyebabkan  kesadaran  aslinya hilang dan sifatnya  menjadi “Awidya”. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk  hidup  termasuk didalamnya adalah manusia, maka Ia  disebut Atma dan Jiwatman.
                  Meskipun Ātma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (ŚIWĀ), namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh  Māyā (Prdhāna Tattwa), maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan Ātma ada dalam lingkungan Sorga-Neraka-Samsara secara berulang-ulang.  Ātma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Dan  apabila dalam segala karmanya  bertentangan dengan ajaran-ajaran tersebut tadi, maka Ātma akan tetap berada dalam lingkaran Samsara dan Reinkarnasi.
                  Bentruk  atau wujud  Reinkarnasi Ātma sangat banyak tergantung karma wasananya Ātma pada saat  penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk Reinkarnasi  itu adalah sebagai “Sthawara Janggama” yang disebutkan sebagai  penjelmaan yang paling jelek. Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu  penderitaan luar biasa  yang harus dihadiri. Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspati tattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari  hakekat ketuhanan dalam dirinya, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan :
  1. mempelajari  segala tattwa (Jñanābhyudreka)
  2. tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriyayogamarga).
  3. tidak terikat pada  pahala-pahala  perbuatan baik atau buruk (Trsnādosaksaya).
                  Dan lain dari pada yang tersebut itu, Wrhaspati Tattwa juga mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang  Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan  pikiran pada  Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut Sadangga Yoga, yaitu Yoga yang didasari dan dibangun oleh Dasa sila (sepuluh prilaku yang baik).

C.  Ganapati Tattwa

                  Ganapati Tatwa menggunakan bahasa Jawa Kuno yang juga diselingi dengan bahasa Sansekerta. Penyampaian ajaran Ganapati ini menggunakan dialog atau percakapan sebagaimana ditemukan dalam Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajñanā, dan sebagainya. Tokoh yang ditampilkan  dalam Ganapati Tattwa adalah : Bhatara  Śiwa sebagai  Mahaguru yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang berhubungan dengan rohani yang  bersifat abstrak dan rahasia. Sedangkan Bhatara Gana  yang disebut pula  Sanghyang Ganapati atau Sanghyang Ganadipa berperan sebagai penanya yang ingin mengetahui  ajaran tentang kebenaran  terutama menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses kembalinya kepada sumber asalnya. Adapun isi dialognya adalah sebagai berikut :
                  Pada awal mulanya dilukiskan tidak ada apa-apa yaitu :  tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada sunia,  tidak ada  ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah  Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan Nirguna, Sukha, Acintya yaitu berkeadaan  Maha bahagia  yang tidak terpikirkan. Kemudian terjadilah  evolusi dari  Sanghyang Sukha Acintya dan muncullah Sanghyang  Jñanā Wisesa yaitu  pengetahuan yang mulia. Ia berbadankan alam semesta, tetapi tidak ternoda, tidak terpengaruhi oleh apapun, tak terjangkau karena Ia berkeadaan Wisesa, Maha Kuasa. Ia juga disebut Sanghyang Jagat Karana,  karena  memiliki ilmu pengetahuan yang maha kuasa dan sebagai penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Disinilah Ia menampilkan  diriNya dalam aspek Saguna. Kemudian timbul keinginan beliau untuk  menyaksikan keadaanNya sendiri yang berkeadaan Sekala-Niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan yang berkeadaan nyata (paras) dan yang berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayanganNya sendiri. Sanghyang Jagat Karana bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciptaan-ciptaanNya dan selanjutnya  secara berturut-turut, seperti : Ongkara Suddha, Suara, Windu Prana Suci yang didalamnya  terdapat  Nada Prana Jñanā Suddha. Dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca  Dewa Atma yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara dan Sanghyang Sada Siwa, yang akan menjadi sumber ciptaan selanjutnya.
                  Dari kelima Dewa tersebut, maka Brahma, Wisnu, dan Siwalah yang dipandang  sebagai badan  perwujudan  Tuhan itu sendiri. Sedangkan  Tuhan Yang Maha Esa (Śiwa) yang tidak terpikirkan  dan Acintya dilukiskan berada dalam batin atau  hati yang suci yang disebut : “Gūhyalaya”. Dan juga Ganapati Tattwa mengajarkan tentang hakekat  alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang  paling  halus sampai dengan tingkat  yang mempunyai wujud  nyata. Yang  pertama-tama diciptakan adalah Panca Tanmatra, yaitu :
  1. Dari Brahma lahir gandha tan matra
  2. Dari Wisnu lahir rasa tanmatra
  3. Dari Rudra lahir rupa tanmatra
  4. Dari Iswara lahir sparsa tanmatra
  5. Dari Sadāśiwa lahir sabda tanmatra
Kemudian  kelima tanmatra itu berkembang ke dalam wujud yang sedikit lebih  konkrit, seperti :
  1. Sabda tanmatra  menjadi Akasa, berwarna  bersih dan bening
  2. Sparsa tanmatra menjadi Bayu, yang berwarna putih
  3. Rupa tanmatra menjadi  Teja, berwarna  putih, merah dan hitam
  4. Rasa tanmatra  menjadi Apah, berwarna hitam
  5. Gandha tanmatra menjadi Pertiwi, berwarna kuning
 Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah  sampai pada tingkatan yang mempunyai bentuk nyata, seperti :
  1. Pertiwi  lahir bumi atau tanah
  2. Teja lahir matahari, bulan dan bintang
  3. Apah lahir air
  4. Bayu lahir angin
  5. Akasa lahir suara
Dan setelah  alam semesta  itu tercipta, kemudian tumbuhlah semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Dan Panca Dewata berperan  sebagai penjaganya, seperti :
  1. Brahma  bertempat di  selatan menjaga bumi
  2. Wisnu bertempat di utara menjaga air
  3. Rudra bertempat di barat menjaga matahari, bulan dan bintang
  4. Iswara bertempat di timur  mejaga udara
  5. Sadāśiwa bertempat  ditengah menjaga ether
Demikianlah  proses penciptaan  bhuwana agung (alam semesta) oleh Panca Dewata.
Proses  penciptaan bhuwana alit tidak jauh  berbeda dengan  penciptaan  bhuwana agung, dan yang  sama-sama  diciptakan  oleh Panca Dewata, seperti :
  1. Brahma dan Wisnu menciptakan tubuh dengan sarana tanah dan air.
  2. Rudra menciptakan  mata dari teja
  3. Iswara  menciptakan  nafas dari bayu
  4. Sadāśiwa menciptakan suara dari akasa
Setelah itu barulah  terbentuk  Ātma menjelma dalam kehidupan  manusia. Dan Panca Dewata pun mulai menempati  bagian-bagian  tubuh untuk menjaganya dan menumbuhkan kesadaran dan menjiwai bagian-bagian  tubuh tersebut, seperti :
  1. Brahma  menempati muladara
  2. Wisnu menempati nabhi (pusar)
  3. Rudra menempati hati
  4. Iswara menempati leher
  5. Sadāśiwa menempati ujung lidah
Dalam proses perkembangan manusia selanjutnya, manusia berperan sebagai alat melalui  sanggama. Sedangkan  yang menjadi benih manusia disebut “Rupa Suksma” yang berkeadaan abstrak dan gaib. Rupa suksma ini menjadi  sukla yang mempunyai warna  seperti manik putih kekuning-kuningan, sedangkan swanita keluar  dari Pradhana Tattwa. Keduanya kemudian  bercampur dalam rahim si ibu. Disanalah  ia terbentuk dan berkembang sehingga  mencapai wujud yang sebenarnya. Tahap-tahap  perkembangannya dilukiskan sebagai berikut :
  • Umur satu bulan rupanya seperti buih
  • Umur tiga bulan berwujud gumpalan darah
  • Umur empat bulan menjadi  Śiwa lingga, berlubang dibagian tengahnya berisi ongkara  dan suksma rupa
  • Umur  lima bulan menjadi Maya Reka
  • Umur enam bulan  menjadi seperti air
  • Umur bulan ketujuh menjadi seperti  ulat dalam kepompong yang disebut gading
  • Pada umur kedelapan  menjadi anak gading yang disertai  dengan nafas yang keluar dari ongkara, juga tulang, kuku da rambut
  • Umur sepuluh bulan di jabang bayi keluar  dari perut ibu
Yang menghidupi  dari janin sampai menjelang kematian berbeda-beda namanya sesuai dengan tingkat  perkembangannya, namun sesungguhnya  hakekatnya adalah sama.   Ketika masih dalam rahim dijiwai oleh Suksma Rupa. Dan setelah  sepuluh bulan  dijiwai oleh sunia. Setelah  lahir dijiwai oleh Nirwana. Setelah bisa  menyebut nama ibu-ayah dihidupi  oleh jiwa. Dan setelah dewasa dihidupi oleh Ātma.
            Pada saat  kematian terjadi pengembalian secara berjenjang, seperti : Ātma kembali kepada jiwa; jiwa kembali pada Nirwana; Nirwana kembali pada sunia, sunia lenyap menjadi  suksma terus kembali pada Sanghyang Ngamutmenge, dan Sanghyang  Ngamutmenge kembali kepada niskala, yang merupakan tujuan tertinggi.
            Tujuan dari kelahiran adalah untuk bersatunya kembali  Ātma kepada sumbernya, tidak  terlahirkan kembali. Untuk itu Ganapati Tattwa memperkenalkan  enam jenis  yoga yang disebut dengan Sad Angga Yoga. Seorang Yogi dalam melaksanakan  pemujaan  melalui yoganya, ia mewujudkan  Swalingga (Ātma lingga) dalam  dirinya, di samping  para lingga yang  ada diluar dirinya. Dan  tubuhnya sendiri dipandang sebagai kahyangan Dewata, sebagai Sadhana untuk mencapai kelepasan. Pada saat Ātma meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran, sehingga Ātma mencapai tujuan  tertinggi.
Ada dua  kemungkinan yang akan dicapai dalam kelepasan yaitu :
  1. Mungkin akan mencapai Sadhudhranti yang  akan mengantarkan  pada kemoksaan, apabila  petunjuk-petunjuk yang telah diberikan  dilaksanakan  dengan teguh. Disini  Ātma tidak akan  terlahirkan kembali.
  2. Mungkin akan mencapai  wyudhbhranti, yang akan mengantarkan pada kelahiran kembali, bila semua petunjuk  tidak dilaksanakan dengan teguh.
Kelepasan dan kemoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat abstrak. Karena itu ia harus  dipahami melalui pengamalan terhadap Sanghyang Bheda Jñāna dengan baik,  adanya keyakinan terhadap ajaran  tersebut, mampu mengendalikan  indrya, patuh dan bhakti  kepada guru, teguh dan tekun melaksanaka  ajaran dharma, serta berlak suci lahir-batin sebagai landasan hidupnya. Itulah yang akan mengantarkan  seseorang pada pencapaian  kelepasan atau kemoksan.

TUHAN DALAM SIWA TATTWA

A.  Pandangan Umum

                  Sanghyang Widhi Wasa adalah Tuhan dalam agama Hindu  di Indonesia. Nama ini berarti Yang menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Titah. Nama ini adalah nama yang amat umum yang  gambarannya lebih lanjut  tidak disebut-sebut dalam sastra-sastra  lontar.  Bhatara Siwalah panggilannya dalam sastra-sastra lontar, yang  gambarannya selalu kita jumpai  baik dalam sastra-sastra agama, seperti pada lontar-lontar yang disebutkan pada Lontar  Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa dan lain sebagainya, maupun dalam saat, puja, upakara, arca-arca dan tempat-tempat pemujaan. Dengan demikian umat Hindu di Indonesia yang  telah memeluk agama Hindu secara turun-temurun memuja Sanghyang Widhi sebagai Bhatara Śiwa.
                  Dalam sastra-sastra agama Hindu di Indonesia ajaran-ajaran seperti yang tersebut di atas sering disebut ajaran Śaivasiddhanta. Nama ini mengingatkan kita kepada nama Śaivasiddhantadi India selatan, namun bila diamati, terdapat perbedaan-perbedaan antara ajaran Śaivasiddhanta  Indonesia dengan ajaran Śaivasiddhanta  India Selatan. Dalam ajaran Śaivasiddhanta di Indonesia tanpa jalinan Upanisad (terutama Śvetaśvatara Upanisad dan  Upanisad-upanisad  Minor), ajaran Sankhya, Yoga, Vedanta atau ajaran-ajaran  yang berasal dari kitab-kitab Tantra yang pada akhirnya  semua ajaran itu mengalir dari Weda. Maka  Weda-lah sumber pertama  ajaran agama Hindu itu dan walaupun wujudnya  dan pelaksanaan hidup beragama Hindu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain, hakekatnya, jiwa dan semangatnya adalah sama.
                  Ajaran ketuhanan dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun  Ia meliputi segala, mempunyai banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada Yang Esa. Kutipan-kutipan  Weda  dibawah ini menyatakan  hal itu :
                  Indram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman,
                  ekam  sad vipra  bahudha vedantyagnim yamam  matarisvanam ahuh
                                                                                          (Rg Veda I.164.46)
                  Artinya :
                  Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia
                  yang  bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok.
                  Satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut dengan banyak
                  nama  seperti Agni, Yama, Matarisvan.
      Dalam Siwatattwa yaitu dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapat uraian tentang Tuhan yang senada dengan isi mantra  veda tersebut di atas. Uraian itu adalah sebagai  berikut :
                  Sa eko bhagavan sarvah
                  Siva karana karanam,
                  aneko viditah sarwah
                  catur vidhasya karanam
                  Ek twanckatwa swalaksana Bhattara, Ekatwa ngaranya,
                  kahidep  makalaksana ng siwatattwa. Ndan tunggal,
                  tan rwatiga kehidepanira. Mengekalaksana Siwa karana
                  juga, tan pa prabheda.
                  Aneka  ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha.
                  Caturdha ngaranya laksananiran  sthula suksma parasunya.
      Artinya :
                  Sifat Bhatara adalah eka dan aneka. Eka (Esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai  Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan.
                  Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah Sthula suksma  para sunya.
                  Uraian-uraian seperti ini juga akan kita jumpai pula dalam lontar-lontar lainnya.

B.  Tuhan Sumber Segala

                  Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari  Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra  agama Hindu, baik yang berbahasa Sanskerta, maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau bahasa Bali. Tuhan adalah sumber hidup, sumber tenaga,  dari Dialah asal segala  yang ada ini dan kepadaNya pula segala yang ada ini kembali. Karena itu  Ia disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk. Taittiriya Upanisad menerangkan hal  ini sebagai berikut :
                  Yato va imani bhutani  jayante,
                        yena  jatani jivanti
                  yat prayanty abhisam visanti,
                        tad vijinasasva tad brahmeti.
                                                                        (Taittiriya Upanisad III.1)
      Artinya :
                  Dari mana  semua ini lahir, dengan apa yang lahir ini hidup, kemana mereka masuk  setelah kembali, ketahuilah, bahwa itu adalah Brahman.
                  Dalam Siwatattwa, Brahman  adalah Bhatara Siwa. Dialah  yang mencipta, memelihara dan mengembalikan semua yang ada kepada dirinya sendiri, asal semua yang ada ini.
                  Brahmasrjayate lokam,
                  visnuve palakasthitam,
                  rudratve samharasceva,
                  trimurtih nama evaca
                  Lwir  Bhattara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran
                  pangraksa  jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra
                  rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama.
                                                                                    (Bhuwana Kosa III.76)
      Artinya :
                  Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia ini ialah :
                  Brahma wujudnya waktu menciptakan dunia ini,
                  Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia ini,
                  Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini,
                  Demikianlah tiga wujudNya (Trimurti) hanya beda nama.
                  Dalam  uraian ini Bhatara Siwa adalah sebagai Trimurti. Dalam buku-buku Purana Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu, dan Siwa, sedangkan dalam kutipan di          atas adalah Brahma, Wisnu, dan Rudra. Dalam puja Trimurti itu adalah Brahma, Wisnu dan Iswara.
                  Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu, dan Iswara dalam aksara dilambangkan sebagai “am, um, mam”. Kesatuan ketiga-ketiganya  adalam “Om”.  Bhatara Siwa sebagai Trimurti dalam lontar-lontar  kebanyakan disebut sebagai “ Brahma, Wisnu, dan  Iswara yang dilambangkan dengan warna : putih, Merah dan Hitam. Aktivitas Bhatara Siwa waktu menciptakan dunia disebut : utpatti, waktu menjaga dan merawatnya disebut sthiti, dan waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina.
C.  Siwa bersifat immanen dan transenden
                  Bhatara Siwa bersifat immanen dan juga transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, sedangkan  transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya  manusia. Kutipan  dibawah ini meyatakan  hal itu :
                  Sivas  sarvagata suksmah
                        bhutanam antariksavat,
                  acintya maha grhyante,
                        na indriyam parigrhyante
                  Bhattara Siwa swa wyapaka, sira suksma tar kneng angen-
                  angen, kadyangga ning akasa, tan kagrhita de ning
                  manah mwang indriya
                                                                                    (Bhuwana Kosa II.16)
                  Artinya :
                  Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan,
                  Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran  dan indriya.
                  Kutipan ini menyatakan bahwa Bhatara Siwa meresapi segala,  berada dimana-mana, meliputi segala. Dengan demikian  Ia pun hadir pula dalam pikiran dan Indriya, namun pikiran dan indriya  tidak mampu menggapai Ia. ini berarti  Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Demikianlah aspek imanen dan transenden  Bhatara Siwa