Mawinten

Yadnya

Mawinten adalah salah satu upacara dalam manusa yadnya. Mawinten berasal dari kata “winten” (inten), adalah nama permata berwarna putih yang mempunyai sifat mulia, dapat memancarkan sinar berkilauan yang menyenangkan hati para peminat serta pemiliknya.

Mawinten adalah upacara untuk penyucian diri secara lahir dan batin. Secara lahir bertujuan untuk mensucikan diri dari mala atau kotoran yang berada dalam dirinya sedangkan secara batin adalah bertujuan untuk memohon penyucian diri dari Sang Hyang Widhi Wasa, agar diberikan wara nugraha dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat suci seperti kesusilaan, keagamaan dan selanjutnya dapat mengamalkan ajaran-ajaran tersebut baik untuk diri maupun untuk orang lain.
Sebelum melaksanakan upacara mawinten, yang bersangkutan sebelumnya melaksanakan upacara “pangidep hati”, yang bertujuan agar dalam belajar selanjutnya mendapatkan tuntunan kearah yang lebih terang. Mengenai batas umur pelaksanaan upacara pengidep hati ini diberikan waktu dapat dimulai dari umur 5 tahun atau setelah tanggal gigi pertama.
Keyakinan umat Hindu terhadap ajaran gamanya, khususnya terhadap sradha samsara yaitu menjelma atau lahir kembali, bertujuan untuk menebus dosa yang masih tersisa akibat karma pala pada kehidupannya yang telah silam.

Menjelma kembali, adalah suatu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, sehingga akhirnya dapat mencapai kesempurnaaan hidup sesuai dengan tujuan agama Hindu, yang tersebut dalam Weda yaitu “Mokshartam Jagad Hita Ya Ca Iti Dharmah”, yang maksudnya untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Secara lahir, dilaksanakannya upacara “pangidep hati” untuk pengendalian diri atas tuntunan indriya dan pikiran. Secara batin, pawintenan itu dilaksanakan dengan upacara. Upacara adalah rangkaian kegiatan manusia untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa, untuk memohon kerahayuan.
Semua upacara-upacara tersebut, ditujukan kehadapa Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, karena Hyang Widhi Wasa diyakini sebagai penyelamat dalam kehidupannya, sesuai dengan ucap tuntunan pustaka suci Reg Veda VI, sloka 47.11. yang dinyatakan sebagai berikut :

Tra tāram indram avitāram indram,
Have have suhavam sūram indram,
Hva yāmi sakram puru hūtam indaram,
Svasti no maghabā dhātvindrah

Artinya :

Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dipuja dengan gembira dalam setiap pemujaan, Tuhan Maha Sakti selalu dipuja, kami memohon semoga Tuhan Yang Maha Pemurah melimpahkan rahmat kepada kami.

Upacara mawinten, merupakan suatu proses dalam mewujudkan suatu tujuan yang ingin dicapai untuk mensucikan diri secara lahir dan batin itu, maka usaha untuk pengendalian diri patut lebih ditingkatkan melalui berbagai upaya dan cara, seperti petunjuk yang telah diajarkan dan termuat dalam pustaka suci silakrama berbunyi sebagai berikut :

Adbir gātrani çudhyanti,
Manah satyena çudhyati,
Widya tapobhyām bhrtātma,
Buddhi jnanena çudhayati,

Artinya :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akan dibersihkan dengan kebijaksanaan.

Semua rangkaian pelaksanaan upacara-upacara tersebut, dilengkapi dengan banten dan diantarkan oleh pemimpin upacara dengan doa, puja dan mantra, yang dimohonkan kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Demikian pula yang mawinten, melaksanakan segala rangkaian upacara tersebut dengan gerak, ucapan dan perbuatannya secara lahir dan batin pula.

Tujuan

Dalam upaya mengungkapkan tujuan dari pada upacara mawinten, maka terlebih dahulu ada baiknya dikemukakan tentang tuntunan pustaka suci sarasamuccaya mengenai “Tujuan hidup”, yang disebutkan dalam sloka 1.4 yaitu :

Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, mmittaning mang kana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sang sara, makasā dhanang subha karma, hanganing kottamaning dadi wwang ika.

Artinya :
Sebab menjadi manusia sungguh utama juga, karena itu ia dapat menolong dirinya dari keadaan samsara dengan jalan karma yang baik, demikian keistimewaan menjadi manusia itu.

Selanjutnya juga sloka 6.80 yang berbunyi sebagai berikut :

Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya,
Maprawrtti ta ya ring subha subha karma,
matangnyan ikang manah juga prihen kahrtanya sakarang.

Artinya :
Sebab pikiran itu namanya sumbernya indriya, ialah yang menggerakkan perbuatan baik buruk itu, karena itu pikirkanlah yang patut segera diusahakan pengendaliannya.

Dengan mengutip kedua sloka pustaka suci tersebut di atas tadi, maka menjadi jelaslah tujuan dari pada upacara mawinten yang dilaksanakan oleh umat Hindu sesuai dengan jenis-jenis dari pawintenan itu, yang pada dasarnya adalah untuk :

  1. Memohon kesucian lahir dan batin melalui pengendalian diri terhadap hawa nafsu yang disebabkan oleh pikiran.
  2. Memohon wara nugraha di dalam mempelajari ilmu pengetahuan suci.
  3. Mendidik secara lahir dan batin, agar kehidupan manusia makin menjadi sempurna.
  4. Meningkatkan status manusia dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi, secara lahir dan batin.
  5. Menjadikan manusia itu lebih sempurna, sehingga dapat berhubungan dengan Tuhan dan manifestasinya.
  6. Mendapatkan perlindungan secara spiritual sehingga luput dari segala gangguan.
  7. Meningkatkan budi daya manusia sehingga lebih mulia.

Demikianlah tujuan yang ingin dicapai melalui upacara pawintenan. Masyarakat di Bali menyadari sepenuhnya arti penting dan tujuan mulai upacara mawinten itu, sehingga setiap umat berusaha untuk melaksanakanya sesuai dengan keperluan hidupnya.

Landasan Sastra

Adapun beberapa lontar yang memuat tentang upacara mawinten ataupun yang ada hubungannya antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Lontar Pangidep hati ; isinya tentang makna upacara pangidep hati sebagai langkah awal sebelum mawinten.
  2. Tutur Pemangku ; isinya tentang Dharma Pawintenan.
  3. Lontar Pawintenan ; isinya tentang tata cara pawintenan yang paling kecil dengan upacara dan upakaranya.
  4. Lontar Janme Prakerti ; isinya ada mengutarakan tentang tingkatan-tingkatan upacara dan upakaranya.
  5. Lontar Aji Bratta ; isinya tentang pelaksanaan pemujaan dalam upacara pawintenan serta upakara-upakaranya.
  6. Lontar Saraswati Astawa ; isinya tentang saat yang baik untuk mengadakan pemujaan terhadap Sri Aji Saraswati sebagai Dewa ilmu pengetahuan.
  7. Lontar Sundari Gama ; isinya antara lain tentang kesuksman hari odalan Sanghyang Aji Saraswati dengan upacara dan brata-bratanya.
  8. Lontar odalan Saraswati ; isinya antara lain tentang penggunaan mantra.

Mengacu pada pustaka-pustaka rontal tersebut di atas, maka jenis-jenis mawinten itu ada beberapa macam antara lain adalah :

  1. Mawinten Saraswati
  2. Mawinten Pemangku
  3. Mawinten Dalang
  4. Mawinten Tukang
  5. Mawinten Balian
  6. Mawinten Sadeg
  7. Mawinten Maha Wisesa

Jenis Mawinten banyak ragam, nama, serta variasinya, namun dalam pelaksanaannya upacaranya hampir sama, karena semuanya itu mempunyai tujuan umum yang sama, hanya saja tujuan khususnya disesuaikan dengan nama dan jenisnya.

Pawintenan saraswati, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir dan batin dalam mempelajari pengetahuan untuk peningkatan berilmu.
Pawintenan Pemangku, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir dan batin dalam tugas kepemangkuan yaitu sebagai pendeta pura yang nantinya memimpin pelaksanaan upacara.

Pawintenan Dalang, tujuan khususnya adalah mensucikan diri secara lahir dan batin dalam tugasnya sebagai dalang, yang nantinya dapat menjadi lebih mampu untuk memainkan peranan tokoh-tokoh pewayangan dalam suatu acara pentas, dimana diperlukan.

Pawintenan Tukang, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir dan batin dalam tugas selanjutnya sebagai tukang, sesuai dengan profesinya yang akan ditekuni dalam kehidupannya untuk memimpin suatu pekerjaan.

Pawintenan Balian, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir dan batin dalam tugasnya sebagai balian.

Pawintenan Maha Wisesa, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir dan batin terhadap fungsionaris pengurus desa adat (Bendesa Adat)

Pawintenan Sadeg, tujuan khususnya untuk mensucikan diri secara lahir dan batin terhadap tugas selanjutnya sebagai sadeg, agar dalam pengabdiannya sebagai penyambung penyampaian pawisik atau bisikan yan diterima dari Hyang Widhi, diberikan kekuatan lahir batin serta tidak mengada-ada.
Adapun jenis upacara pawintenan itu dapat dibedakan atas :

  1. Pawintenan Nista :
    Pawintenan ini dilaksanakan di suatu pura yang sedang melaksanakan upacara piodalan dengan sarana upakara mempergunakan “Pabangkit”.
  2. Pawintenan Madya (menengah)
    Pawintenan ini dilaksanakan di pura yang sedang menyelenggarakan upacara piodalan dengan sarana upakara mempergunakan “Pedudusan alit”.
  3. Pawintenan Utama, Pawintenan ini dilaksanakan di pura yang sedang menyelenggarakan upacara piodalan dengan sarana upakara mempergunakan “Pedudusan Agung”.

Jalannya Upacara

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai melalui upacara pawintenan ini, yaitu membersihkan dan penyucian diri secara lahir dan batin, maka secara umum jalannya upacara pawintenan untuk semua jenis adalah sama yaitu sebagai berikut :

Upacara diawasi dengan melaksanakan pembersihan lahir seperti, menyapu, menyingkirkan alat-alat yang tidak perlu, misalnya ada sisa-sisa upacara yang masih tertinggal dan membenarkan letak-letak sarana yang ada pada tempat-tempat suci dilingkungan pura, tempat pelaksanaan upacara Mawinten itu.

Setelah selesai upacara pembersihan dan penyucian diri, dilanjutkan dengan menstanakan Hyang Widhi Wasa, misalnya kalau upacara pawintenan dilaksanakan di Pura Puseh, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Brahma distanakan di palinggih meru tumpang tuju (7). Kalau di pura Desa manifestasi Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Wisnu distanakan pada palinggih gedong dan kalau di laksanakan di Pura Dalem, maka manifestasi Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Siwa distanakan di palinggih Gedong.

Selesai menstanakan, barulah dilanjutkan dengan mempersembahkan upakara-upakaranya, mulai dari sanggah Tutuan ke hadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Siwa Raditya, dengan tujuan memohon agar beliau menjadi saksi dalam penyelenggaraan upacara, sehingga upacara berjalan dengan tertib, lancar dan benar, sesuai dengan mantram pemujaan yang berbunyi sebagai berikut :

Om Aditya sya paramjoti.
Raktu teja namostute,
Sueta pangkaja madyasthe,
Bhāskarāya namo namah,
Om hrang hring sah parama siwādityāya
Namo namah swaha.

Artinya :
Ya Tuhan selaku Hyang Surya yang bersinar merah sinarmu yang kupuja, serta putih bersih laksana tunjung di tengah-tengahnya, Surya maha suci, ya Tuhan selaku Siwa Raditya, awal, tengah dan akhir sembahku adalah untukmu.

Berikutnya dilanjutkan dengan persiapan pelaksanaan upacara pawintenan, yang diawali dari “malukat” yaitu pembersihan diri dari yang akan di winten dengan sarana air kelapa muda. Kalau tingkat upacaranya kecil, mempergunakan salah satu dari lima jenis kelapa yaitu (kelapa bulan, suda mala, gading, surya dan mulung). Kalau tingkatan madia mempergunakan sebanyak 3 jenis, dan kalau tingkatan utama mempergunakan 5 jenis air kelapa tersebut.

Selesai melukat, dilanjutkan dengan upacara “mabyakala”. Upacara ini bertujuan untuk memberikan pengorbanan suci kepada para bhuta kala, agar tidak menganggu jalannya upacara.
Selesai mabyakala, dilanjutkan dengan upacara “maprayascita”, yang dipergunakan sebagai penyucian. Kesucian yang diperoleh adalah dengan memohon kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh para Dewa, khususnya Dewa Nawa Sanga, yang mana hal tersebut dilukiskan dengan “lis sanjata”.

Selesai meprayas citta, dilanjutkan dengan upacara “mesakapan”, yaitu perkawinan dengan profesinya yang akan ditekuni dan agar dilaksanakan secara lahir dan batin.
Selesai masakapan, dilanjutkan dengan upacara “Padudusan”. Upacara ini bertujuan untuk menyucikan diri yang telah dibersihkan melalui malukat, mabyakala, mprayascitta dan masakapan.

Selesai upacara “padudusan”, dilanjutkan dengan upacara “merajah”, yang bertujuan untuk mencapai tingkatan yang disebut dalam bahasa Inggris “lotus”, artinya bunga teratai atau sunyata. Alat-alat yang digunakan untuk merajah adalah berupa sirih dan madu, yang dirajahkan pada :

  • diantara kedua kening dengan aksara suci Yang.
  • di dada dengan aksara suci Dang
  • di kedua bahu dengan aksara suci Bang
  • di tunggir dengan aksara Sanga
  • di telapak tangan dengan aksara Tang
  • di tengah lidah dengan aksara suci Ing
  • di ujung lidah dengan aksara Ong.

Selelai merajah, pendeta menulisi pinang dengan aksara suci Ang, Ung, Mang dan pada lekesan sirih dengan aksara Ya, Ra, La, Wa dan setelah itu dimantrai, lalu diberikan kepada yang diwinten untuk dimakan, yang mengandung simbol bahwa ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam jiwanya.

Selanjutnya setelah rangkaian upacara merajah itu selesai, dilaksanakan upacara “mesesolahan”. Tujuan upacara mesesolahan adalah untuk memancing sifat-sifat Tri Guna, agar bangkit dan mudah dibersihkan serta disucikan noda-noda dan kotoran-kotoran yang masih ada dalam diri orang yang diwinten itu.
Setelah selesai upacara mesolahan, dilanjutkan dengan upacara “mejaya-jaya”, yaitu bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik.
Setelah selesai mejaya-jaya dilanjutkan dengan memasang “selimpet”, setelah itu dilanjutkan dengan memasang “Suro Wastu” di kepala, ini merupakan simbolis anugraha dari Hyang Widhi Wasa, telah mensucikan yang di winten itu secara lahir dan batin.

Upacara selanjutnya adalah sembahyang. Persembahyangan dalam upacara mawinten ini, mempergunakan sarana “kwangen” dengan sesari uang kepeng 11 buah, yang ditunjukkan kepada 9 Dewa sebagai wujud Dewi Saraswati yang menguasai 9 penjuru mata angin (Nawa Dewata).

Setelah upacara persembahyangan berakhir dilanjutkan dengan upacara “matirtha”, yang bertujuan untuk memohon air suci / tirtha kehadapan Hyang Widhi Wasa.
Setelah acara matirtha dan mabija itu selesai, kemudian dilanjutkan dengan upacara “natab”, memakai sarana upakara yang bernama “sesayut”, yang bermaksud untuk mengembalikan para bhuta yang ada menganggu ke tempat asalnya semula, agar yang diwinten itu tetap bersih dan suci.

Rangkaian upacara selanjutnya adalah “Mapedamel”, yaitu dengan memohon sarana upacara berupa “Dodol madu parka”, untuk dimakan.
Setelah semua rangkaian upacara itu selesai, maka untuk menenangkan dan menghayati semua makna dan tujuan dari pelaksanaan tersebut, maka dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara “brata”, yaitu tidak makan, minum dan tidur dari matahari terbit hingga terbenam. Ini bermakna untuk mengendalikan diri terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan, agar mengarah pada hal-hal yang bersifat suci.

Selesai melaksanakan upacara brata pawintenan, diakhiri dengan upacara “penyambutan”. Upacara ini merupakan rangkaian terakhir dari pelaksanaan upacara mawinten. Tujuan dari upacara penyambutan ini untuk memisahkan statusnya menjadi orang suci serta kemudian berwenang melaksanakan “sasana kepemangkuan”, yaitu menjadi perantara antara umat dengan Hyang Widhi atau manifestasinya, melaksanakan rangkaian upacara di suatu pura atau tempat suci, melalui permohonannya.