Potong Gigi

Yadnya

SEJARAH TERJADINYA POTONG GIGI

Penggalian fosil-fosil manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sisitim penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda yang telah diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah dikenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.
Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa pra sejarah di daerah kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang. Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai korban dalam agama, antara lain adalah tapa dan brata.
Demikian pula upacara-upacara yang sudah merupakan adat agama Hindu di pulau Bali antara lain ialah : upacara potong rambut pada wkatu umur tiga bulan dianggap sebagai upacara penyucian, melenyapkan mala (kekotoran) dari rambut yang dibawa sejak lahir, disertai dengan upacara “metusuk kuping” yaitu melobangi daun telinga. Di samping itu upacara 3 bulan ini adalah upacara perubahan status dimana si bayi mengambil nama (diberi nama secara resmi), berkenalan dengan alam sekitarnya, mempermaklumkan ke Bale Agung dan permakluman kepada Kepala Desa Adat sebagai warga desa yang baru.
Jadi potong rambut dan melobangi daun telinga ini dimana menurut G.A. Wilken dianggap sebagai korban kepada roh nenek moyang bagi orang primitif kini mempunyai arti perubahan status dan penyucian dalam agama Hindu di Bali. Demikian pulalah halnya upacara potong gigi yang akan kita bicarakan sekarang lebih bersifat adat agama, karena ditunjuk dan ditunjang oleh mithology-mithology keagamaan sehingga upacara ini menjadi bernilai sakral atau suci.
Dibawah ini kita akan bahas satu persatu aspek-aspek potong gigi ini dengan memakai latar belakang petikan cerita-cerita yang telah disebutkan tadi.
a. Mulai umur berapa orang baru boleh melaksanakan upacara potong gigi ?
Untuk memberikan jawaban kepada pertanyaan ini, dalam lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut :
….. mwah yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe sanggar negaranira Çri Aji.

Terjemahan bebasnya :
…. lagi jika memotong gigi orang yang belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan didunia akan mengakibatkan rusaknya negara sang raja.
Jadi dengan demikian seseorang baru boleh melaksanakan upacara Mepandes setelah mereka naik dewasa dalam arti sudah pernah kotor kain.

Tujuan Upacara Potong Gigi (Mepandes)

Berdasarkan lontar-lontar dan mythology-mithology dapatlah ditarik suatu kesimpulan yaitu :

  1. Upacara potong gigi adalah upacara penyucian bagi orang yang sudah menginjak dewasa, agar menjadi manusia yang baik.
  2. Swadharma atau kewajiban dari orang tua yang merasa bertanggung jawab mendidik dan menuntun putra-putrinya menganggap secara spiritual dan ritual perlu memotong gigi (mandesin) putra-putrinya agar sifat-sifat Bhuta Kala Pisaca itu dapat ditinggalkan sehingga putra-putrinya menjadi manusia yang baik atau suputra. Orang tua yang belum melaksanakan upacara potong gigi untuk putra-putrinya menganggap dirinya masih belum selesai (berhutang) terhadap salah satu kewajibannya sebagai orang tua.
  3. Gigi tajam ataupun taring selalu dihubungkan dengan sifat-sifat Bhuta Kala Pisaca yang seing dihubungkan dengan sadripu (6 musuh utama dari kebaikan) yaitu : kama (keinginan), kroda (kemarahan), lobha (tamak), moha ( kebingungan karena gejolak hawa nafsu), mada (kemabukan) dan matsarya (iri hati).
  4. Kalau sudah melaksanakan potong gigi (kelak setelah meninggal) agar bisa bertemu dengan orang tuanya, mungkin yang dimaksud dengan orang tuanya disini adalah penciptanya yaitu Ida Sang Hyang Widhi yang memang menjadi “sangkan paran” yaitu asal mula dan tujuan akhir dari manusia yaitu mencari Ida Sang Hyang Widhi.

Upacara Gigi Setelah Meninggal (Mati)

Dari isi Lontar Castra Proktah sebagai berikut :
“Iki linggih Castra Proktah ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, ketekan pejah, aywa amandesing wong pejah tan kawenang, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yang mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang ikang wwung mati wehing sopakaraning wwang maurip, tunggal adanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de Bhatara Yama dipati”
Artinya :
Inlah ucapan Castra Proktah, namanya, bila seseorang yang belum potong gigi lalu meninggal dunia, tidak dibolehkan, “angludi wangke” namanya. Bila demikian halnya amatlah papanya (sengsaranya), karena tidak patut orang yang telah meninggal diupacarai dengan upacara orang hidup. Sama dosanya antara yang mengupacarai dan orang yang diberi upacara, dikutuk oleh Sanghyang Yamadipati.

Jadi menurut Lontar ini orang yang sudah meninggal walaupun belum potong gigi, sangat dilarang mengupacarai potong gigi disebut ngeludin wangke katanya dan dikutuk kalau melanggarnya. Namun walupun demikian ada lontar yang menyebutkan sedemikian, kita menjumpai pula tradisi-tradisi yang hidup di masyarakat dengan peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk upacara potong gigi untuk orang yang telah meninggal. Walaupun tidak dalam bentuk tertulis namun bisa juga diterima oleh akal, dan sering dilakukan jaman dahulu. Mengenai peralatan yang digunakan dan orang yang bertindak sebagai sangging (orang yang bertugas memotong gigi dengan kikir) adalah sebagai berikut :

  1. Yang bertindak sebagai sangging harus orang tuanya sendiri tidak boleh orang lain.
  2. Sebagai tumpuan tempat berdirinya sangging waktu menatah gigi itu dipergunakan padi, berdiri sambil menginjak padi.
  3. Tangan sangging itu digelangi dengan uang kepeng (satakan).
  4. Sebagai pengganti kikir (alat memotong gigi dipergunakan) angapan yaitu alat yang biasa untuk memotong padi oleh para petani di Bali. Di beberapa daerah ada juga yang menggunakan bunga tunjung (teratai) sebagai pengganti kikir. Dalam hal ini sudah tentu bunga teratai ini hanya sebagai simbul saja untuk memotong gigi.
  5. Penggunaan lesung (alat penumbuk padi), sebagai peralatan upakara.

Kini kembali kita membicarakan mengenai upacara potong gigi menurut Lontar Proktah yang melarang keras memotong gigi orang mati. Tetapi sebaiknya tradisi di beberapa tempat menganjurkan dengan alasan membayar hutang kewajiban orang tua kepada anaknya meskipun dengan peralatan yang khusus pula. Orang mati itu diperlakukan seperti orang tidur karena itu alat-alat upacaranya disesuaikan dengan arti mimpi. Di pulau Bali memang dikenal ada upacara menghidupkan secara spiritual dan simbolik orang yang sudah meninggal dengan membuatkan badan darurat dari banten (puspa sarira). Contohnya banten yang diletakkan disebelah kanan mayat pada waktu masih disimpan di Bale Gede atau semanggen.
Demikian pula waktu Nyekah almarhum disetarakan berbadan kayu cendana dan daun beringin.
Akhirnya dapat disimpulkan tujuan dari upacara potong gigi itu sebagai berikut :

  1. Upacara potong gigi adalah upacara penyucian secara ritual, agar menjadi manusia yang baik dapat mengendalikan hawa nafsu dibawah tuntunan Sanghyang Semara Ratih, serta pada akhir hayatnya bisa bertemu dan menghadap kepada penciptanya.
  2. Upacara potong gigi juga bertujuan memenuhi hutang kewajiban orang tua membimbing putra-putrinya lahir bathin. Sebelum putra-putrinya diupacarai potong gigi, orang tua masih merasa berhutang kewajiban. Sebab itu diusahakan terlaksana pada waktu masih jejaka.

UPACARA POTONG GIGI (MAPANDES)

Uraian Upacara

Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa dan mapetik dan penambahan upakaranya tidak begitu banyak. Upacara ini bertujuan untuk mengurangi Sad Ripu dari seseorang, dan sebagai simbulnya akan dipotong 6 buah gigi atas (4 buah gigi dan 2 buah taring).
Yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah enam sifat manusia yang dianggap kurang baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh dalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut, ditimbulkan oleh budi rajas dan budi tamas.

Sebenarnya kita manusia memiliki 3 budhi yaitu : budhi rajas, budhi tamas, dan budhi satwam. Sedangkan pada binatang hanya memiliki 2 budhi yaitu : budhi rajas dan budhi tamas. Oleh karena itu segala pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh budhi rajas dan budhi tamas, kiranya dianggap sebagai sifat-sifat kebinatangannya, yang tidak selayaknya menguasai kita sebagai manusia. Ini bukanya berarti bahwa budhi rajas dan budhi tamas beserta pengaruh-pengaruhnya itu tidak perlu, tetapi hendaknya ada keseimbangan antara budhi rajas, tamas dan budhi satwam sebagai penuntunnya. Adapun yang dimaksud sad ripu adalah : kama (keinginan), kroda (kemarahan), lobha (tamak), moha ( kebingungan karena gejolak hawa nafsu), mada (kemabukan) dan matsarya (iri hati).

Demikianlah upacara Potong Gigi itu bukanlah semata-mata mencari keindahan/kecantikan belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.

Susunan Upakara

a. Upakara yang paling kecil : banten pabiakalaan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.
b. Upakara yang lebih besar : bantennya sama seperti upakara yang paling kecil, tetapi tatabannya memakai pulagembal.

Catatan :
Di samping upakara-upakara tersebut, terdapat pula upakara / perlengkapan lainnya yaitu :

  1. Membuat / menyediakan sebuah balai-balai (dipan) untuk tempat upacara potong gigi. Pada tempat tersebut diisi perlengkapan seperti bantal, kasur, seprai (permadani) dan tikar yang berisi gambaran Samara Ratih.
  2. Bale Gading : bale gading ini dibuat dari bambu gading (yang lain) dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning serta didalamnya diisi beras, ajuman daksina kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci canang burat wangi, canang dan raka-raka, kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa. Bale gading ini adalah sebagai tempat (palinggih) dari Sanghyang Semara Ratih.
  3. Tegteg : yang dimaksud dengan tegteg, adalah sejenis jejahitan yang berisi jajan dan sampian tegteg. Biasanya dipakai daun rontal.
  4. Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulisi “Ardhanareswari” (gambar Semara Ratih). Kelapa Gading itu akan dipakai tempat ludah, dan singgang gigi yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading itu dipendam dibelakang Sanggah Kemulan.
  5. Untuk singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong dapdap dan tiga potong tebu malem/tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1 cm atau 1 ½ cm.
  6. “Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata mirah.
  7. Untuk pengurip-urip adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
  8. Sebuah bokor yang berisi kikir, cermin dan pahat, biasanya “pengilap” yang disebut di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula “pangurip-uripnya”.
  9. Sebuah tempat sirih, lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang dan gambir (didalam lekesan itu sudah berisi kapur).
  10. Beberapa potong kain (yang agak baik) dipakai untuk menutupi badan pada waktu upacara dan disebut “Rurub”.
  11. Banten “tatingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan agung).

Tata Upacara

Seperti biasa dilakukan upacara mabiyakala dan maprayascita lalu bersembahyang kehadapan Bhatara Surya dan Sanghyang Semara Ratih, kemudian naik ketempat upacara potong gigi (kebalai yang disebut didepan) serta duduk menghadap kehulu, (Keluanan). Pimpinan upacara mengambil cincin yang akan dipakai untuk Ngerajah pada beberapa tempat yaitu :

  1. Pada dahi (antara kedua kening)
  2. Pada taring sebelah kanan
  3. Pada taring sebelah kiri
  4. Pada gigi atas
  5. Pada lidah bawah
  6. Pada dada
  7. Pada nabi puser
  8. Pada paha kanan dan kiri

Setelah itu barulah diperciki “Tirta Pesangihan” selanjutnya upacara dipimpin oleh “Sangging” yaitu pelaksanaan memotong gigi itu (nyangihin). Setelah orang bersangkutan tidur serta memakai rurub, maka Sangging mengambil kikir lalu dipujai. Orang yang akan diupacarai diberi pedanggal tebu, disebalah kanan (kalau orang laki-laki), sedang kalau perempuan dipasang disebelah kiri terlebih dahulu). Setelah kikir dipuja, lalu dimulailah pelaksanaan potong gigi dengan disertai puja, kemudian pedanggal diganti, orang yang bersangkutan disuruh meludah, pedanggal diganti dan demikian seterusnya sampai dianggap cukup (ludah dan pedanggal dibuang kedalam kelapa gading). Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi pengurip-urip (kunir) kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan tiga kali) dan sisanya dibuang kedalam kelapa gading. Selanjutnya natab banten peras, dan waktu turun menginjakkan kakinya pada tatingkeb (segehan agung) tiga kali. Sore harinya, setelah pemujaan sajen, dilakukan muspa kehadapan Surya Candra, kemudian dilanjutkan dengan mejaya-jaya dan natab.

Beberapa Mantra :
1) Mantra kikir : Om, Sang Perigi Manik, aja sira geger lunga antinen, kakang nira Sri Kanaka teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena teka awet-awet-awet.
2) Mantra waktu pemotongan gigi yang pertama : Om lung ayu, teka ayu. (diucapkan tiga kali).
3) Mantra Pengurip-urip : Om uripang-uripang bayu, sabda idep, teka urip, Ang Ah.
4) Mantra Lekesan : Om suruh mara, jambe mara timiba pwa sira ring lidah, Sanghyang Bumi Ratih ngaranira, tumiba pwa sira ring ati, Kunci pepet aranira, ketemu-ketemu dalaha, samangkana lawan tembe, netu pwa sira ring wewadonan Sang Hyang Sumarasa aran nira, wastu kedep mantraku.