Rsi Naradha

Maha Guru

Narada (Sansekerta: नारद ) atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai vina, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.

Putra Dewa Brahma

Menurut legenda, Narada dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya ‘dari pikiran Dewa Brahma’, atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam alam semesta menurut Purana. Ia dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau pengembara sejati yang mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga), Mrityuloka (bumi) dan Patalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan sesuatu mengenai kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya.
Narada Muni memiliki posisi penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam kitab-kitab Purana, ia termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau ‘pemuja besar’ Dewa Wisnu. Karena ia adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadi Resi, ia berada dalam kategori Dewaresi.

Pencerahan

Bhagawata Purana menceritakan pencerahan spiritual yang dialami Narada: Dalam kehidupannya yang dulu, Narada adalah gandharva (sejenis malaikat) yang dikutuk agar lahir di planet bumi karena melanggar sesuatu. Maka ia kemudian lahir sebagai putera seorang pelayan yang khusus melayani pendeta suci (brahmin). Para pendeta yang berkenan dengan pelayanan Narada dan ibunya, memberkahinya dengan mengizinkannya memakan sisa makanan mereka (prasad) yang sebelumnya dipersembahkan kepada dewa mereka, yaitu Wisnu.
Perlahan-lahan Narada menerima berkah dan berkah lagi dari para pendeta tersebut, dan mendengarkan mereka memperbincangkan banyak topik mengenai spiritual. Lalu pada suatu hari, ibunya meninggal karena digigit ular, dan karena menganggap itu adalah perbuatan Dewa (Wisnu), ia memutuskan untuk pergi ke hutan demi mencari pencerahan agar memahami ‘Kebenaran yang paling mutlak’.
Ketika di dalam hutan, Narada menemukan tempat yang tenang, dan setelah melepaskan dahaga dari sungai terdekat, ia duduk di bawah pohon dan bermeditasi (yoga), berkonsentrasi kepada wujud paramatma Wisnu di dalam hatinya, seperti yang pernah diajarkan oleh para pendeta yang pernah dilayaninya. Setelah beberapa lama, Narada melihat sebuah penampakan, dimana Narayana (Wisnu) muncul di depannya, tersenyum, dan berkata bahwa ‘meskipun ia memiliki anugerah untuk melihat wujud tersebut pada saat itu juga, Narada tidak akan dapat melihat wujudnya (Wisnu) lagi sampai ia mati’. Narayana kemudian menjelaskan bahwa kesempatan yang diberikan agar Narada dapat melihat wujudnya disebabkan oleh keindahan dan rasa cintanya, dan akan menjadi sumber inspirasi dan membakar keinginannya yang terlelap untuk bersama sang dewa lagi. Setelah memberi tahu Narada dengan cara tersebut, Wisnu kemudian menghilang dari pandangannya. Narada bangun dari meditasinya dengan terharu sekaligus kecewa.

Selama sisa hidupnya Narada memusatkan rasa baktinya, bermeditasi, dan menyembah Wisnu. Setelah kematiannya, Wisnu menganugerahinya dengan wujud spiritual “Narada”, yang kemudian dikenal banyak orang. Dalam beberapa susastra Hindu, Narada dianggap sebagai penjelmaan (awatara) dewa, dan berkuasa untuk melakukan tugas-tugas yang ajaib atas nama Wisnu.