Butha Yajna

Yadnya

Memberikan persembahan atau yajna ditujukan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan pencipta alam semesta beserta segenap isinya, melainkan juga untuk semua ciptaanNya termasuk kehadapan makhluk bawahan dan bhuta kala. Yajna yang ditujukan kehadapanpara bhuta ini disebut dengan bhuta yajna. Makhluk bawahan dan juga para bhuta kala merupakan ciptaan Tuhan, semua yang ada di dunia ini merupakan ciptaanNya. Terhadap ciptaanNya itu umat Hindu wajib memberikan persembahan yang tulus ikhlas sesuai dengan kemampuannya.

Melalui sarana upakara atau sajen umat Hindu ingin menghormati dan memberikan persembahan suci terhadap bhuta kala. dengan beryajna berarti pula memberikan penghormatan, selain itu melalui yajna ingin meberikan pengorbanan serta penyupatan terhadap makhluk hidup. Pelaksanaan bhuta yajna berkaitan dengan pelaksanaan yajna yang lainnya dalam panca yajna. Pelaksanaan bhuta yajna memiliki tingkatan, dari yang paling kecil, tingkatan menengah sampai dengan tingkatan yang paling besar atau dalam istilah bahasa Bali disebut dengan tingkatan alit, tingkatan madya dan tingkatan utama. Namun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis yajna yang dilaksanakan, dan biasanya dilaksanakan dalam waktu sehari-hari atau nitya karma maupun dalam waktu-waktu tertentu atau naimitika karma.

Pada dasarnya bahwa pelaksanaan bhuta yajna memiliki sifat kebersamaan dengan jenis pengorbanan atau yajna yang lainnya baik Dewa yajna, Rsi yajna, Pitra yajna, Manusa yajna, Bhuta yajna, maupun yajna yang lainnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Apalagi yang pelaksanaannya khusus untuk jenis-jenis bhuta yajna itu sendiri juga mempunyai rangkaian dengan yajna yang satu dengan yang lainnya.

Apabila kita memperhatikan hakikat dari pelaksanaan bhuta yajna atau pecaruan (caru) yaitu untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan diantara semua kekuatan alam di dunia ini. Dengan pelaksanaan bhuta yajna ini diupayakan adanya kestabilan dan keharmonisan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidak diharapkan adanya gangguan ataupun godaan yang mengganggu kehidupan di alam semesta ini. Dengan tumbuhnya suasana nyaman dan tentram, tentunya tujuan hidup manusia menjadi terwujud yakni mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal dan abadi, yang di dalam ajaran agama Hindu disebut Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
Semua yang ada di dunia ini merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa atau Hyang Widhi. Diantara ciptaan Tuhan maka manusia merupakan ciptaanNya yang paling sempurna, karena manusia dapat berbuat, berkata-kata dan memiliki pikiran atau dengan kata lain manusia memiliki unsur Tri Pramana yakni bayu, sabda dan idep. Dengan kesempurnaannya inilah manusia wajib menghormati dan menghargai semua ciptaan Tuhan, sebagai mana ada yang ditegaskan dalam kitab suci Chandogya Upanisad, 3.14.1, ada menegaskan dalam slokanya yang berbunyi “Sarwa idam khalu Brahman”, yang maksudnya yaitu segala yang ada ini tidak lain berasal dari pada Brahman.
Dari kutipan sloka di atas bahwa makna yang terkandung didalamnya adalah di mana Tuhan atau Hyang Widhi itu maha kuasa dan maha pencipta, Tuhan dapat menciptakan segala-galanya yang ada di dunia ini. Ciptaan itu seperti manusia, binatang atau hewan, tumbuh-tumbuhan, bumi, bulan, matahari, bintang, benda-benda yang besar, benda-benda yang kecil yang nampak dan yang tidak tampak oleh mata, benda halus, termasuk juga kekuatan alam yang dapat menguntungkan kehidupan manusia ini, makhluk-makhluk lainnya yang dapat menganggu kehidupan manusia di dunia ini, seperti para bhuta kala, jin, setan serta yang lainnya. Terhadap kesemuanya itu manusia wajib menghormatinya dan memberikan persembahan. Jadi manusia wajib pula melaksanakan upacara keagamaan yang ditujukan kehadapan makhluk bawahan atau dengan para butha kala. Kewajiban umat Hindu untuk melaksanakan atau melakukan persembahan (yajna) yang jumlahnya ada lima macam yajna, dan ada ditegaskan dalam kitab suci Manawadharmasastra, IV,21, yang bunyinya sebagai berikut :

“Rsi yajnam dewa yajnam,
bhuta yajnam ca sarwada,
nryajnam pitra yajnam ca,
yatha sakti na hapayet”

yang artinya :
Hendaknya jangan sampai lupa, jika mampu laksanakanlah Rsi yajna, dewa yajna, bhuta yajna, manusa yajna, dan pitra yajna.

Menyimak makna sloka di atas, tentu kewajiban umat untuk beryajna tertuju pada seluruh aspek kehidupan di dunia ini, juga halnya melaksanakan upacara bhuta yajna merupakan usaha yang mulia dan terhormat.

Melalui pelaksanaan bhuta yajna terselip makna untuk menyelamatkan dan memperhatikan kekuatan alam semesta termasuk para bhuta kala walaupun dalam tingkat kedudukannya memang lebih rendah dari manusia. Para bhuta dan kala perlu diberikan persembahan demi untuk keselamatan bersama.

Jangankan para bhuta dan kala itu dikatakan suka menganggu kehidupan ini, yang dikatakan memiliki suatu sifat pengganggu, pemarah, pengacau dan yang lainnya, maka manusia pun kalau kita sadari juga sama memiliki sifat-sifat seperti bhuta dan kala. Menangnya manusia memiliki kelebihan akal dan pikiran, namun akal dan pikirannya terkadang sering kacau balau, sering bingung, sering marah, sering mengamuk, dan sebagainya, Semua sifat itu tiada lain sebenarnya juga merupakan sifat dari bhuta kala.
Di dalam kitab Ramayana ada ditegaskan “ragadi musuh maparo rehati tonggawannya tan madoh ring awak”, yang maksudnya bahwa musuh itu tidak jauh tempatnya yaitu di dalam hati atau di dalam diri manusia itu sendiri.

Di samping itu juga ditegaskan dalam pelajaran agama yaitu mengenai Sad Ripu, bahwa pada diri manusia terdapat enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yang antara lain : kama artinya sifat penuh nafsu indrya, loba artinya sifat loba dan serakah, krodha artinya sifat kejam dan pemarah, madha adalah sifat mabuk-mabukan dan kegila-gilaan, moha adalah sifat bingung dan angkuh sedangkan matsarya adalah sifat dengki dan iri hati.

Musuh yang ada di dalam diri manusia disebut dengan sad ripu, musuh dalam diri itu memang sangat ganas dan kejam sekali dan dapat menjerumuskan diri sendiri. Dalam diri manusia juga memiliki sifat yang dapat menggelapkan jalan hidup kita yang dikenal dengan sapta timira dan banyak lagi yang lainnya. Untuk itu bagaimana manusia itu dapat mengendalikannya, agar tidak sampai merusak dirinya sendiri. Salah satu usaha manusia untuk mengupayakannya adalah dengan melaksanakan upacara bhuta yajna. Upacara bhuta yajna ini memiliki makna spiritual yang merupakan usaha untuk menghormati, menyelamatkan, dan meningkatkan derajat kehidupan para bhuta kala itu sendiri.

Lebih lanjut mengenai pengertian bhuta yajna dapat dilihat di dalam kitab suci Manawadharmasastra, bab III sloka 70 yang berbunyi sebagai berikut :

“Adhyapanam brahma yajnah,
pitr yajnastu tarpanam,
homo daiwo balibhaurto
nr yajno tithi pujanam”.

yang artinya :
Mengajar dan belajar adalah yajna bagi Brahman, menghaturkan tarpana dan air suci adalah yajna untuk leluhur, menghaturkan minyak dan susu adalah yajna untuk para Dewa, mempersembahkan Bali adalah yajna untuk para bhuta dan penerimaan tamu dengan ramah adalah yajna untuk manusia.

Dari kutipan sloka di atas terdapat makna pelaksanaan bhuta yajna yakni dengan mempersembahkan Bali adalah yajna untuk bhuta. Dari sloka di atas terdapat makna Bali, sesungguhnya adalah pelaksanaan untuk para bhuta. Jadi Bali merupakan nama yajna untuk dipersembahkan kehadapan para bhuta kala.
Kemudian kalau kita perhatikan kitab Agastya Parwa ada pula menegaskan tentang makna upacara bhuta yajna yang menyebutnya dengan istilah walikrama, yang antara lain ada dinyatakan :

Tawur muang kapujan ing tuwuh pamungwan kunda wulan makadi walikrama, ekadasadewata mandala ya bhuta yajna ngaranya…

Dalam kutipan tersebut mengandung arti : Bhuta yajna adalah tawur (caru) dan selamatan kepada segala tumbuh-tumbuhan persembahan dalam periuk bulan, seperti Balikrama dan persembahan di atas altar / lapangan kepada sebelas dewata atau ekadasa dewata itu dinamakan bhuta yajna.

Apa yang dinyatakan dalam kutipan di atas itu merupakan wujud pelaksanaan dari pada upacara bhuta yajna yaitu dengan mempersembahkan tawur atau caru sebagai upacara selamatan kepada para bhuta, sebagimana yang ditegaskan di atas dinamakan Balikrama atau Bhuta yajna. Juga kalau kita perhatikan kitab suci Sarasamusccaya ada pula mengatakan tentang bhuta yajna, yang bunyinya :

Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu sama
vistam subheve va va karayet

(Sarasamuccaya, 2).

yang artinya :
Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun yang buruk, leburlah kedalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu ; demikianlah gunanya atau phalanya menjadi manusia.

Dengan memperhatikan sloka-sloka tersebut di atas bahwa manusia juga termasuk bhuta, namun manusia mempunyai kesempatan yang mulia untuk berbuat kebaikan dan berbuat sesuatu yang dapat menyelamatkan bhuta atau makhluk-makhluk yang lainnya dengan pelaksanaan upacara bhuta yajna. Tetapi kalau manusia itu tidak mempergunakan kesempatannya yang baik itu untuk beramal kebaikan atau selalu berbuat buruk, maka tidak jauh berbeda bahwa manusia memiliki juga sifat-sifat bhuta dan kala atau ketamakan, yang dikenal dengan istilah asubhakarma. Oleh karena itu lenyapkanlah sifat tamak atau asubhakarma itu menuju sifat subhakarma atau kebajikan yang berlandaskan dharma.
Dari uraian-uraian di atas upacara bhuta yajna adalah korban suci yang tulus ikhlas kepada sekalian makhluk-mahluk bawahan, baik yang kelihatan maupun makhluk yang tidak kelihatan untuk memelihara kesejahteraan dan ketentraman alam semesta. Bhuta yajna merupakan cinta kasih terhadap sesama makhluk hidup, baik yang nampak maupun tidak nampak, sebagai sesama makhluk yang erat dengan kehidupan manusia. Upacara bhuta yajna sebagai upacara korban suci untuk makhluk-makhluk halus dengan harapan agar tidak mengganggu keselamatan dunia. Atau dengan kata lain bahwa upacara bhuta yajna adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat (alam beserta isinya) dan memelihara serta memberi “penyupatan” kepada para bhuta kala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia, seperti peri, jin, setan, binatang dan sebagainya.

Upacara Bhuta Yajna

Bhuta yajna adalah yajna yang ditujukan kepada bhuta kala yang menganggu ketentraman kehidupan manusia. Bagi masyarakat Hindu, bhuta kala ini diyakini sebagai kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi dengan bhuta yajna maka kekuatan-kekuatan tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia.
Bhuta yajna pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu upacara bhuta yajna dalam tingkatan kecil seperti segehan dan yang setingkat, upacara bhuta yajna dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut “CARU”, dan upacara bhuta yajna alam tingkatan yang besar (utama).

Tujuan Upacara Bhuta Yajna

Melaksanakan upacara bhuta yajna mengandung nilai spiritual. Adapun tujuan umat Hindu memberikan persembahan terhadap para bhuta dan kala serta kekuatan alam melalui upacara bhuta yajna adalah :

  1. Untuk memelihara kesejahteraan dan ketentraman alam semesta.
  2. Sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Hyang Widhi, para dewa, leluhur, dan unsur kekuatan alam yang secara filosofis menggunakan tumbuh-tumbuhan serta binatang / hewan dalam upacara bhuta yajna yang bertujuan untuk pembebasan dan peningkatan terhadap jiwanya.
  3. Untuk mengusir roh-roh jahat dan kekuatan alam yang menganggu kehidupan manusia.
  4. Memberikan kesenangan dan kenyamanan terhadap roh-roh para buta dan kala, agar tidak menganggu atau setidak-tidaknya memberikan jalan yang benar dan kelancaran pelaksanaan upacara tersebut.
  5. Untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, agar beliau memberikan kekuatan serta mengatur ciptaanNya, sehingga tidak menimbulkan bencana atau malapetaka .
  6. Untuk pembersihan alam semesta, bhuta kala dan makhluk, agar terhindar dari pengaruh atau sifat buruk yang mengganggu manusia dan sebaliknya agar kekuatan alam itu dapat melindunginya.

Demikianlah beberapa pengharapan yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara bhuta yajna, yang merupakan swadharma umat Hindu sebagai usaha penyelamatan dan penyucian demi terciptanya keharmonisan dan juga untuk tegaknya kebenaran dan dharma. Dan dalam penulisan makalah yang sederhana ini, penulis membatasi tulisannya hanya berkisar pada masalah pecaruan pada upacara Piodalan di Pura Puseh (sesuai dengan judulnya).

Sumber Ajaran

Bhuta yajna, korban kepada Bhutakala, adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk Sekta Sakta atau Saktiisme, dari mazab Siva (Siva Paksa). Disebut Saktiisme, karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah Sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi, sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of bala or strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain Sakti juga disamakan dengan energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as “Kala” or time). (Das Gupta, ibid).
Dengan demikian Saktiisme sama dengan Kalaisme. Sekte keagamaan “Kalaisme” disebut juga “Kalamukha” atau “Kalikas” dan disebut juga “Kapalikas”. Sekte ini sejenis dengan aliran “Bhairawa” atau Tantrayana kiri. Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari pendekatan Anthropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut Dynamisme.

Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka jadi juga disebut “Sudra kapalikas” . Pengikut ini tidak percaya kepada sistem “kasta”. Dan pengikut ini selalu melaksanakan “Panca Ma” sebagai bagian dari pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma itu adalah : Makan daging (Mamsa), Makan Ikan (Matsya), minum-minuman keras (Mada), Mudra (melakukan gerak tangan). Mytuna (mengadakan hubungan cinta yang berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan dikucilkan dari Veda. Aliran ini memuja Devi sebagai Ibu, baik Bhairavi, Ibu Durga maupun Kali. Mereka dalah “Super matrial power”.

Ibu Durga atau Bhairavi inilah yang melahirkan para Bhuta-bhuti dengan kekuatan Yoga-Nya. Perihal penciptaan ini banyak diuraikan dalam berbagai lontar yang bersifat Tantrayana di Bali.
Tapi dalam Dharma Sastra, para golongan Bhutakala ini, yang termasuk golongan Sadya adalah diciptakan oleh Brahman. Golongan Sadya itu terdiri dari makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari Dewa-dewa. Mereka mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manava Dharma Sastra III.196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danava, Raksasa, Yaksa, Gandharva, Naga, Saparna dan Kinnara