Tatwa Jnana

Filsafat

Sanghyang Tattwajnāna yang patut diketahui oleh seorang abdi dharma, yang ingin bebas dari kesengsaraan penjelmaan. Tattwajnāna merupakan dasar semua Tattwa.

Cetana, Acetana

Cetana ialah jnana yaitu : mengetahui, ingat,  ingat akan kesadaran dan menjadi lupa. Acetana  ialah lupa  bingung tak memiliki kesadaran. Cetana dan Acetana  itulah disebut  dengan Śiwatattwa dan Māyātattwa. Māyātattwa  lebih rendah dari Śiwatattwa. Māyātattwa tidak memiliki  cetana,  tidak memiliki jnāna, hanya lupa  tidak memiliki kesadaran, ketiadaan sebagaimana badannya, kosong bebas tiada  yang merintangi. Lupa tak ingat  apapun, demikianlah sifat-sifat  Māyātattwa.  Śiwatattwa mempunyai sifat-sifat  sadar  jernih bercahaya. Śiwatattwa ada tiga   yaitu  :Paramaśiwatattwa, Sadāśiwatattwa dan  Ātmikatattwa

PARAMAŚIWATATTWA

Sifat-sifat  Bhatāra  paramaśiwatattwa yaitu  tanpa bentuk, tidak bergerak, tidak guncang, tidak pergi, tidak mengalir, tidak ada asal, tidak ada yang dituju, tidak berawal, tidak berakhir, hanya tetap  tak  bergerak tetap tanpa  gerak. Diam dan kekal. Seluruh  alam semesta  ini dipenuhi, diliputi, disangga disusupi seluruh  saptabhuwana ini oleh-Nya. Sapta patala  disusupi sepenuh-penuhnya, tiada ruang  yang terisi  penuh terisi  alam semesta  oleh-Nya. Tidak dapat dikurangi, tidak dapat ditambahi. Tanpa karya, pun juga  tanpa tujuan. Tidak dapat diganggu  oleh perbuatan baik  ataupun buruk. Tak dapat  dikenal keseluruhannya. Dan ia tidak mengenal  masa lalu, masa yang akan datang dan masa kini. Tidak dirintangi oleh waktu, selalu siang tidak sesuatu ilang pada-Nya. Ia kekal abadi.

SADĀŚIWATATTWA

Bhatārasiwatattwa bersifat Wyāpāra. Wyāpāra artinya ia dipenuhi oleh  sarwajnā (serba tahu) dan sarwakāryakarthā (serba kerja). Sarwajnā sarwakāryakarthā  ialah ada padmasana sebagai  tempat duduk  bhatāra, yang disebut  Cadusakti,  yaitu jnānaśakti, wibhuśakti,  prabhuśakti, kryaśakti.  Jnānaśakti  ada tiga, yaitu  dūrādarśana, dūrāśrawana, dūrātmaka. Dūrādarśana ialah melihat  yang jauh  dan yang dekat. Dūrāśrawana ialah mendengar  suara yang jauh  dan yang dekat. Duratmaka  mengetahui perbuatan  yang jauh  dan yang  dekat.

Wibhuśakti ialah tidak ada kekurangan-Nya di seluruh alam semesta ini.

Prabhuśakti ialah tidak ada dirintangi  segala yang  dikehendaki-Nya.

Kriyaśakti ialah mengadakan seluruh  alam semesta ini lebih-lebih para dewata semuanya, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara, Pancarsi, Saptarsi, Dewarsi, Indra, Yama, Waruna, Kubera, Wesrawana, Widyadhara, Gandharwa, Danawa, Daitya, Rāksasa, Bhūtayaksa, Bhūtadengen, Bhūtakala, Bhūtapisaca, demikianlah pula alam ini, Prthiwi (tanah), Āpah (air), Teja (cahaya), Wāyu (udara), Ākasa (ether), bulan,  matahari, palnit. Itulah semua karya Bhatāra Sadāśiwattwa di alam  niskala. Adapun karya  Bhatāra Sadāśiwattwa di alam sekala ialah : Sanghyang Śastra, Āgama, ilmu pengetahuan mantra (waidya), ilmu logika (tarka), ilmu tata bahasa (wyākārana), ilmu hitung (ganita). Bhātāra  Sadāśiwattwa adalah penguasa alam sekala dan niskala ialah Bhatāra  Adipramana, Bhatāra  Jagatnatha, Bhatāra  Karana, Bhatāra  Parameswara, Bhatāra  Guru, Bhatāra  Mahulun, Bhatāra  Wasawaśitwa. Ia  menciptakan namun ia sendiri tidak diciptakan, ialah yang berkuasa  untuk mengadakan dan meniadakan. Tidak ada yang dapat mengalahkan ialah Bhatāra  Gurunya guru.

ĀTMIKATATTWA

Ātmikatattwa adalah Bhatāra  Sadāśiwattwa dengan ciri-cirinya : Utaprota.

Uta ialah tak tampak tak ketahuan. Ia mengembang memenuhi mayatattwa. Prota ialah tak  dan tak dapat  dikenal lagi ia memenuhi mayatattwa.Itulah Sadāśiwattwa. Sifat Mayatattwa itu kotor (mala). Itulah yang dipandang dan dihiasi dan dilekati  oleh kotor (mala). Itulah sebabnya  seperti  hilangnya sakti Bhatara  akhirnya namun tidak demikian, karena  Sadāśiwattwa tidak dapat dikotori  hanya saja  cetananya  yang terlekati  oleh mala, dihiasi dan diselimuti  oleh mayatattwa. Akhirnya cetana itu tidak aktif, tidak lagi sarwajna, tidak lagi sarwakaryakartha, sehingga cetana itu kesadarannya amat kecil.  Maka  disebutlah  Atmikatattwa, Sanghyang Atmawisesa, Bhatara  Dharma yang memenuhi alam semesta ialah jiwanya alam semesta  jiwa semua makhluk.

Bhatara Dharma

Anak Māyātattwa adalah Pradhānatattwa sifatnya lupa tak ingat apapun. Bertemunya  ingat-lupa  disebut Pradhāna purusa. Bertemunya pradhāna dengan purusa  melahirkan Cita  dan Guna. Cita adalah wujud kasarnya  purusa. Guna adalah hasil  pradhanatattwa yang diberi  kesadaran  oleh purusa. Guna ada tiga yang disebut dengan Triguna yaitu : Sattwa, Rajah, Tamah. Triguna ini menentukan akan mendapatkan  apa ātmā itu. Satwa, rajah, tamah yang melekat pada alam pikiran (cita) itulah yang menyebabkan ātmā  itu menjelma berulang-ulang.  Sattwa  terang bercahaya besar pada alam pikiran itulah yang menyebabkan ātmā  mencapai kelepasan (kamoksan). Satwa bertemu dengan  rajah menyebabkan ātmā datang di sorga. Bila sattwa bertemu dengan rajah, tamah ātmā itu menjadi manusia, karena  sattwa, rajah dan tamah tidak sejalan kehendaknya. Pertemuan Triguna dengan citta melahirkan buddhi. Buddhi  itu adalah  bentuk kasarnya triguna yang diberi kesadaran oleh citta. Dari buddhi lahirlah angakāra.

               Bhatāra  yang dijunjung  memberi kesadaran pada Sanghyang Ātmā. Sanghyang ātmā  memberi kesadaran  pada citta. Citta memberi kesadaran pada ahangkara. Itulah yang disusupi oleh kriyaśakti Bhātara yang memberi kekuatan. Itulah yang disebut  hidupnya hidup. Kriyaśakti   Bhātara Pramana sebagai  hidupnya ahangkara sebagai hidupnya buddhi. Ahangkāra  yang sifatnya mengaku-aku. Ada tiga jenis ahangkāra  yaitu :

  1. Ahangkara si waikrta adalah buddhi sattwa
  2. Ahangkara si taijasa adalah buddhi rajah
  3. Ahangkara si bhutadi adalah buddhi tamah.

Ahangkara si waikrta menyebabkan adanya  manah dan 10 indriya yaitu  caksu (mata), srota (telinga), ghrana ( hidung ), jihwa (lidah), twak (kulit), wuk (mulut), pāni (tangan), pada (kaki), upastha (kelamin laki-laki), payu (pelesan). Itulah  pancakarmendriya  dengan pancendriya yang disebut dengan Dasendrya.

Ahangkara si bhutadi ialah yang menyebabkan adanya pancatanmatra yaitu : sabdatanmātra, sparsatanāmtra, rupatanmātra, rasatanmātra, gandhatanmātra. Sabdatanmātra artinya suara yang halus,

  • Rupatanmātra artinya  udara yang halus.
  • Rasatanmātra artinya rasa yang halus.
  • Gandatanmātra artinya  bau yang halus.

Dari panca tanmātra, lahirlah  Panca mahabhūtha yaitu, Ākasa, wāyu, teja, apah, prthiwi.

  1. Akasa lahir dari sabdatanmātra
  2. Wayu lahir dari sparsatanmātra
  3. Teja lahir dari rupatanmātra
  4. Apah lahir dari rasatanmātra.
  5. Pertiwi lahir  dari  gandhatanmātra

Gandha ada tiga jenis yaitu :

  • Surabhi  adalah bau  wangi
  • Asurabhi adalah bau busuk
  • Gandhasadharanah  adalah bau yang  tidak wangi dan bau yang tidak busuk.

Berpadunya panca mahabhūta  dengan guna membentuk Andhabhuwana yaitu :  Saptaloka, bertempat  di puncak  yang tertinggi. Saptapatala, bertempat di bawah yang disebut dengan Bhuwana Sarira. Satya loka bertempat  paling di atas, kemudian dibawahnya, Mahāloka, Janaloka, Tapaloka, Swarloka, Bhuwarloka, Bhurloka. Bhurloka tempat berkumpulnya semua tattwa  yaitu : saptāparwa, saptānawa, saptadwipa, dasabayu, dasendriya. Disamping alam atas terdapat alam  bawah disebut  saptapatala : patala, witala, nitala, mahāloka, sutala, tala-tala, rasatala dibawah saptapatala adalah Balagadarba yaitu  mahaneraka dibawah  mahaneraka terdapat  Sang Kalagnirudra yaitu apa yang senantiasa menyala 100.000 yajna jauh menyala  berkobar-kobar.

               Ahangkara si Taijasa adalah  buddhi raja,  yaitu sifatnya beristri dua orang  yaitu membantu si waikrta dan si bhutadi. Ahangkāra  itu ada tiga  sifatnya  lahir dari  buddhi menserasikan sattwa, rajah, dan tamah. Yang mensrasikan itu adalah  Sanghyang Pramana  untuk mengaku, merencanakan  perbuatan baik atau buruk.

Perbedaan Pramana dan Wisesa yaitu :

–          Sanghyang Pramana lebih rendah dari pada Sanghyang Wisesa.

–          Sanghyang Pramana aktif dalam perbuatan baik atau buruk. Namun Sanghyang Wisesa tidak aktif, tidak berkata tanpa tujuan, tidak mengetahui akan baik dan buruk. Hanya tetap diam  tenang, tak bergerak, tidak terguncang, tidak berjalan, tidak mengalir.

Atma itu berada di Turyapada, Jarapada, Suptapada.

Atma berada di Turyapada disebut  Pramana Wisesa

Atma berada di Jarapada disebut Pramana

Atma berada si Suptapada disebut Wisesa. Yang menyebabkan  Ahangkāra itu  disebut  Pramana ialah sebagai  sarana untuk mengaku  untuk menentukan sehingga atam itu mengalami sengsara  atau  Ātma itu menjelma berkali-kali.  Ahangkāra  itu ada tiga macamnya yaitu :  tempatnya pada buddhi : ada buddhi sattwa,  buddhi rajah, buddhi  tamah. Itulah yang  mengikuti apa yang diingini oleh  Yoninya sebagai penjelmaannya. Yoni  itulah yang menyebabkan kemoksan, sorga, demikian pula penjelmaan yang  berulang-ulang.

  • Bila ada  buddhi  sattwa sangat menekankan kepada hakekat kebijaksanaan, mengamati baik-baik sastra, melaksanakan kesamyagjanan, maka kelahirannya Sanghyang Tripurusa. Kelahiran sattwa.
  • Bila buddhi sattwa sangat menekankan  pada hakekat  brata, tapa,  yoga samadhi, maka pancarsi kelahiran sattwa yang demikian .
  • Bila buddhi  sattwa menekankan  pada hakekat  puja, arcana, japa, mantra dan puji-pujian terhadap  bhatara, maka saptarsi kelahiran sattwa yang demikian.
  • Bila buddhi satwa  tidak mengindahkan  baik dan buruk, namun  kasih – sayang pada  segala makhluk ; dewarsi kelahiran  sattwa yang demikian.
  • Apabila buddhi  sattwa sangat  menekankan pada  hakekat dharma, kirti, yasa, kebijakan maka kelahiran dewa sattwa yang  demikan.
  • Apabila buddhi  sattwa, sangat menekankan  pada hakekat keberanian, keperwiraan, ketangkasan, tidak memperdulikan bahaya, sangat rela ikhlas pada jiwanya, sombong hendak membunuh mengalahkan dirinya sendiri dengan kasih sayangnya, bhaktinya, tak bingung dalam  berperilaku, hanya  tenang pikirannya, pikirannya semata-mata  jernih,  bila akan melaksanakan  ketetapan  hatinya, keberaniannya, widhyadhara  kelahiran sattwa yang demikian.
  • Apabila buddhi  sattwa, sangat menekankan pada hakekat  keindahan, ia senang mendengarkan  bunyi-bunyian yang menyebabkan  senangnya telinga, cinta pada tari-tarian, kidung, cinta  bercengkrama,  setiap yang  indah menawan  didatanginya, ia senang memandang bunga yang  harum. Gandharwa  kelahiran sattwa yang demikian. Adapun  yang dijadikan dasar oleh para  arif bijaksana  untuk mencapai  kemoksan oleh  para rsi, dewarsi, saptarsi,  terutama oleh sanghyang Tripurusa ialah, buddhi  sattwa yang  kenista, madhyama, uttama.

Budhi Rajah

–          Ada buddhi rajah, diberi kata-kata yang tak layak, menjadi marahlah ia, maka tak mampu  menahan, tidak keluar dalam penampilannya, karena sesungguhnya ada orang lain. Maka itu ia diam saja menahan  dirinya. Karena sesak hatinya maka mengalir  keluar dalam wujud  tangis. Jika demikian kelahirannya  Denawa rajah yang demikian.

–          Ada buddhi rajah, diberi kata yang tak baik menjadi  marah,  tetapi ia tidak tinggal diam, seketika ia  menjauh dan berkata, katanya : “paling hebatlah padaku, ia  kira aku orang penakut, hanya karena enggan untuk  bertengkar karena aku sayang akan kebaikanku.  Itulah  kelahiran Daitya rajah yang demikian.

–          Ada buddhi rajah diberi kata-kata yang tidak baik, menjadi marah gemetar  badannya, seketika ia  menyerang, lancang. Kata-katanya :  lancang tangan, lancang kaki, menjerit, meraung, berkata seenaknya saja, Raksasa kelahiran  rajah yang demikian.  Dewa kris pencabut nyawa  adalah Raksasa. Daitya menjadi dewanya  keris yang menjadi senjata seorang petani. Danawa adalah dewanya keris yang menjadi senjata seorang pendeta.

Buddhi Tamah

–          Tidak resah pada apa yang dimakan, ia merasa kenyang dengan secabik sayur, sekepal nasi, seteguk air, seteguk tuak, puaslah hatinya. Itulah kelahiran Bhutayaksa tamah yang demikian.

      Bhutayaksa  tempat tinggalnya di desa sebagai dewanya logam, tinggal pada lingga pratima, arca pujaan.

–          Bila ada buddhi tamah, memilih apa yang di makan, bukan  emas yang diinginkannya yaitu  yang paling  tidak ditolaknya, apa saja yang   gemerlapan tidak diingininya. Tidak masuk dihatinya, namun bila ia  menemukan makanan, sejuklah hatinya. Kelahiran  Bhuta dengen tamah yang demikian. Bhuta dengen tempat tinggalnya  di wanglu, sebagai dewanya kayu  banaspati (beringin).

–          Bila buddhi tamah, sama saja apa yang dimakan, tidak memilih  apa yang diingininya, semua  daging yang dipandang orang haram dimakannya saja, asalkan membuat kenyang, katanya, kelahiran bhutakala tamah yang demikian. Bhutakala tamah  tempat tinggal  di kuburan, perbatasan  pemakaman, simpang empat.

–          Bila  ada buddhi tamah, mau saja ia makan  yang tidak enak yang  menyebabkan ia  kemudian gelisah resah, ke barat ke timur, tidak mengenal  letih, kemudian sadarlah ia  tertipu  barang  orang, yang menyebabkan ia menjadi manggul dan lesu  namun masih tergila-gila. Dipasang juga telinganya, bila  mendengar ada makanan kelahiran  Bhutapisaca tamah yang demikian. Bhutapisaca tamah  tempat tinggalnya di angkasa, berjalan-jalan, tidak bergerak (sasabawuh).

Bertemunya  Bhutayaksa dengan dewarsi, saptarsi, pancarsi, tripurusa  terang bercahaya  buddhi itu, itulah  atma mencapai Kamoksaan.  Adapun bhuta dengan  hanya daitya bertemu dengan daitya, wedyadhara, dewata, terang bercahaya  besar buddhi itu, itulah yang menyebabkan atma mencapai sorga.  Bhutakala bertemu dengan raksasa, gandharwa, terang bercahaya buddhi itu, itulah  yang menyebabkan lahirnya  sebagai manusia.  Bhutapisaca bertemu dengan raksasa, terang bercahaya buddhi itu, itulah  menyebabkan atma itu  jatuh ke Neraka. Bhutapisaca, terang  bercahaya besar buddhi itu, maka atma  menjelma sebagai Binatang.  Tripurusa  ialah Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara, bila ia kurang hati-hati, kurang  yoga, pancarsi  jadinya.

  • Pancarsi   kurang yoga Saptrsi jadinya
  • Saptarsi   kurang yoga Dewarsi jadinya
  • Dewarsi kurang yoga Dewata jadinya
  • Dewata   kurang yoga Widyadhara jadinya
  • Widyadhara   kurang yoga Gandharwa jadinya
  • Gandharwa   kurang yoga Danawa jadinya
  • Danawa kurang yoga Daitya jadinya
  • Daitya kurang yoga Raksasa jadinya
  • Raksasa kurang  yoga  Bhutadengan jadinya
  • Bhutadengan kurang yoga bhutakala jadinya
  • Bhutaka kurang yoga Bhutapisacajadinya
  • Bhutapisaca kurang yoga Manusia jadinya
  • Manusia kurang yoga  menjadi binatang

Binatang ada lima :

  1. Pasu (binatang) yang lahir di desa.
  2. Mrga ialah binatang yang lahir di hutan
  3. Paksi ialah  segala  yang terbang
  4. Mina ialah yang  lahir di air
  5. Pipilika ialah nama binatang yang berjalan-jalan  dengan dadanya.

Apabila dengan baik dapat  memahami  Sanghyang  Tattwajnāna, oleh masyarakat yaitu dari kesadarannya untuk melaksanakan Prayogasandhi, dengan  penerangan Samyagjnāna, dengan berdasarkan brata,  tapa, yoga, Samadhi, itulah obat dari atma yang sengsara. Ātmā bagaimanakah yang menaggung  sengsara ? tempat  Sanghyang  ātmā di Turyapada, telah lebih dulu dikatakan Bhatara jungjungan disebut wyāpi wyapaka. Ia berada di alam niskala kriyasaktinya  Bhatāra  merasuki ahangkāra. Ahangkāra  merasuki wāyu. Wayu  meresap pada  nadi. Nadi itu  merasuki tubuh dengan halus. Tubuh itulah  yang menanggung  pancagati (lima kesengsaraan ) itu. Ketika  ātmā memberi kesadaran  pada pradhānatattwa maka pada saat itulah Sanghyang  ātmā yang  terbagi dua yaitu  ada yang wyāpāra  dan yang tidak wyāpāra.

Wyāpāra adalah ketika  atma pada saat memberikan kesadaran pada pradhanatattwa. Tidak Wyāpāra adalah  Bhatāra junjungan berhenti diam tidak lagi menyuruh memberi kesadaran.

Ātma tetap  tinggal diam tak begerak dan tak terguncang, ialah yang disebut  Ātmāwisesa dan ia  pulalah yang  disebut Bhatāra Dharma. Ketika ātmā itu aktif memberi kesadaran di sebut dengan Pramāna. Ātmā yang disebut  Sanghyang pramāna  dan Sanghyang Ātmā Wisesa hanya tetap  akan di Turyapada, Begitu juga Ātmā yang berada di Jāgrapada ia juga tunggal sifatnya hanya saja perbedaan  halus dan kasar. Ātmā yang berada di Jāgrapada sebab cetana sifatnya. Cetana adalah wujud kasar Ātmā yang berada di Turyapada yang  disebut citta yang dilekati  oleh Triguna. Citta   ialah  tutur  Wyapara  kesadaran  yang kacau yang tahu baik dan buruk. Tutur adalah  ketika  tetap  diam tak bergerak.  Ātmā yang  berada di Jagrapada berkeadaan sama pada tutur wyapara dan tanpa  waypara. Ātmā yang diberi nama Ahangkara si Waikrtha, ialah  dibuat oleh bhatara untuk membuat  pancatanmatra dan pancamahabhuta. Adapun  manah (pikiran)  itu diwujudkan lagi menjadi tattwa lawölawö (kelopak bunga). Ātmā lawölawö adalah atma pari wara. Ātmā Pariwara  adalah pancatmā yaitu, ātmā, parātmā,  nirātmā, antarātmā dan suksmātmā. Itulah  yang disebut dengan inti wujud kasarnya ātmā  ialah yang sesungguhnya  mengalami baik dan buruk  perbuatannya, tidak habis-habisnya.

               Ātmā disebut  Ahangkara si waikrta adalah buddhi sattwa, ialah  yang menanggung  sengsara. Ātmā yang dinamai  Ahangkara  si tejasa, ia adalah buddhi rajah, ialah yang menyakiti. Ātmā yang disebut si bhutadi  ialah buddhi  tamah, ia sebagai kesengsaraan orang yang ditempati oleh bhatāra  Siwa memiliki atma wisesa. Walaupun ātmā worang ātmā wisesa ia  harus melaksanakan  tapa, brata,  samādhi. Pada waktu samādhi Bhatāra Siwa akan menyatakan dirinya. Pada  binatang  tidak ada ātmā  wisesa itu, ia lebih  namyak digerakkan  oleh wāyu, idep dan sabda. Sabda, wāyu dan idep itu meresapi  seluruh  tubuh manusia yang dibei kesadaran  oleh ātmā dalam kadar yang  berbeda-beda yang menyebabkan perbedaan itu ialah  Subhāsubha Karma. Ātmā yang berada  dijāgrapada dan tūriapada adalah ātmā yang luput dari  subhāsubha karma karena kesuciannya. Sedangkan  ātmā yang berada di suptapada adalah ātmā sengsara karena  terus menerus lahir menjadi dewata, manusia dan binatang. Ia selalu  diombang-ambing oleh pikiran yang berangan-angan. Adapun  turyapada dan  tūryāntapada  itu sukar  dijangkau oleh pikiran  manusia  yang begitu  halusnya. Untuk menentukan sesuatu  itu dapat  dipergunakan Tri Pramāna,  yaitu  Praktiyasa, Anumāna dan āgama pramāna. Turyāntapada  hanya dapat dibayangkan dengan āgama, pramāna. Ātma-ātmā itulah yang lahir  menjadi manusia, tinggal dalam  badan manusia meresap dalam sadrasa, yang membangun  tubuh manusia. Adapun  Sadrasa (enam rasa) itu adalah : Amla (asam), Kesaya (sepet), Tikta ( pahit ), Katuka (pedas ), Lawana (asin), Madhura (manis). Namun tubuh  itu dasarnya dibangun dari Panca Mahābhuta yaitu : tanah dijadikan kulit,  air dijadikan  darah,  teja dijadikan daging, angin dijadikan tulang, udara dijadikan sumsum. Dan pancatanmatra  yaitu : sabda tanmatra menjadi telinga. Sparsatanmatra menjadi kulit, rupatanmatra menjadi mala, rasatanmatra menjadi lidah, gandhatanmatra  menjadi hidup. Sebenarnya tubuh  itu juga merupakan  tiruan alam besar karena bagian-bagian tubuh itu bagaikan  bagian-bagian alam  besar. Demikianlah  bagian-bagian  tubuh itu  dapat dibandingkan dengan sapta bhuwana, sapta pātāla, sapta parwata, sapta arnawa, sapta dwipa.

  1. Sapta Buwana ialah : bhur loka adalah perut,  bhuwarloka adalah ati, swarloka adalah dada, tapaloka adalah kepala,  janarloka adalah lidah, mahaloka adalah hidung dan  satyaloka adalah mata.
  2. Sapta Pātāla ialah : petala adalah dubur, wantala adalah  paha, nitala adalah lutut, mahatala  adalah betis, sutala adalah pergelangan kaki,  tala-tala adalah ….., pasatala adalah telapaknya  yang dibawah.
  3. Sapta Parwata  ialah  buah pelir  adalah gunung Mālyawān, pelir adalah  gunung Nisada, limpa adalah  gunung Gandhamādana, paru-paru adalah gunung  Malayamahidhara, empedu adalah gunung Trisrengga, hati adalah gunung Windhya, jantung adalah gunung Mahāmeru.
  4. Sapta Arnawa, ialah : air kemih  adalah  lautan tuak, darah adalah lautan gula tebu, keringat adalah lautan garam,  lemak adalah  lautan minyak,   air liur adalah lautan madu,  sumsum adalah  lautan susu, otak adalah lautan santan.
  5. Sapta  Dwipa,  ialah : tulang adalah pulau jambu, otot adala pulau kusa, daging adalah pulau sangka, kulit adalah pulau samali, bulu adalah pulau  gomedha, sendawa adalah  pulau puskara dan gigi adalah pulau  kraunca.

               Bila dalam  alam  besar terdapat banyak sungai, maka dalam badan terdapat semacam  sungai yang disebut nādi. Nādi  yang utama  terdapat sepuluh nādi yaitu :

  • Ida adalah nādi disebelah kanan, tempat  makananan lewat terus  masuk meresap sampai kesekat rongga dada.
  • Pinggala adalah  nādi disebalah kiri, tempat  air lewat terus masuk meresap ke dalam kandung kemih.
  • Sumsumna adalah nadi ditengah, tempat angin memencar ke tiga  jurusan.
  • Gandhari,  ialah cabang  nadi, tempat angin lewat melaju sampai  ke kepala, kemata, ke hidung, ke telinga, ke ubun-ubun.
  • Asti, adalah cabang nadi,  tempat angin lewat  menuju semua  persendian, terus masuk meresap   sampai ke dalam kulit, bulu badan.
  • Jihwā adalah  cabang nadi, tempat  angin lewat  ke jantung.
  • Pusā adalah  cabang nadi tempat angin  lewat menuju paru-paru.
  • Alambusā ialah cabang nadi tempat angin  lewat menuju  sampai ke limpa.

Sangkhini adalah cabang nadi, tempat  angin lewat menuju sampai ke buah pelir dan  batang pelir.

Kuhūh adalah cabang nadi …..?

               Tenaga gerak  tubuh itu di sebut wāyu. Jumlahnya  sepuluh disebut  Daśawayu yaitu :

Prana  berada di dalam jantung hingga di dada  batasnya yang menjadi sumber gerak semua wayu, sebagai  jiwanya. Gunanya ialah sebagai nafas.

Apāna ialah  wāyu  yang ada di dalam kandung kemih, mengedarkan  sari-sari  makanan yang dimakan dan diminum,  yang menjadi sperma dan ova. Ampasnya menjadi berak dan air kencing. Sari-sari  yang dibaui menjadi dahak dan ingus.

Udana ialah wayu yang  berada di ubun-ubun, menggerakkan mata dan mulut tujuannya.

Wyāna ialah wayu  yang berada  pada semua persendian, menggerakkan  badan dan  mengamati  umur tua dan kematian.

Samana ialah wayu yang berada dalam hati, mengedarkan  apa-apa yang  dimakan dan diminum, menjadi darah, daging, empedu.

Wāyu Nāga,  menyebabkan ?

Wāyu Kūrma, menyebabkan gemetar, keriputnya badan.

Wāyu Dewadatta,  menyebabkan  menguap.

Wāyu Krekara,  menyebabkan orang bersin.

Wāyu Dhananjaya sebagai suara tujuannya.

               Semuanya itu dihidupi oleh Sanghyang Ātmā yang membagi-bagi dirinya dalam menghidupi bagian-bagian tubuh itu. Akibat dari  pembagian itu, maka ātmā membagi  dirinya menjadi Pancātma yaitu :

  1. Ātma  adalah idep (pikiran ) yang berada dalam  hati. Gunanya  untuk berpikir.
  2. Parātma ialah pikiran yang berada pada mata. Gunanya  untuk melihat.
  3. Antarātma ialah pikiran yang berada di ubun-ubun. Gunanya  sebagai  antara jaga dan tertidur.
  4. Suksmātma ialah  pikiran yang berada  pada telinga. Guanya untuk mendengar.
  5. Nirātma ialah pikiran yang berada dalam kulit. Gunanya untuk  merasakan  rasa panas dan dingin.

Dunia ini dialami oleh ātmā  melalui Dasendriya dan manah.

Dasendriya yaitu :

  1. Srotendriya pada telinga menyebabkan ātmā mendengar kata-kata yang baik dan buruk.
  2. Twagindriya pada kulit yang  menyebabkan ātmā merasakan panas dan dingin, merasakan apa yang dipakai apakah lembut.
  3. Caksuwindriya pada mata, yang menyebabkan ātmā melihat  rupa dan warna.
  4. Jihwendriya pada lidah yang  menyebabkan  ātmā mengecap  sadrasa (enam rasa).
  5. Ghranendriya pada hidung  yang menyebabkan  ātmā dapat membau,  bau busuk dan bau wangi.
  6. Wagendriya pada mulut  yang menyebabkan ātmā dapat memastikan yang ada  atau yang tidak ada.
  7. Panindriya pad atangan, yang menyebabkan ātmā dapat   memegang.
  8. Padendriya pada kaki yang menyebabkan ātmā dapat berjalan.
  9. Paywindriya pada dubur, yang menyebabkan  ātmā dapat kentut dan buang air besar.
  10. Upastendriya pada alat kelamin  perempuan dan laki yang menyebabkan ātmā dapat  melakukan persetubuhan. Demikianlah dasendriya  dalam badan  jasmani, ditambah buddhi, manah  dan ahangkara.

Buddhi adalah sarana atma  berpikir

Manah aalah sarana atma membayangkan  wujudnya.

Ahangkara  adalah sarana  atma mengaku  bermilik dan sebagai sarana atma  mempersiapkan  tinakan yang  baik atau buruk. Buddhi, manah, Ahangkara dan dasendriya disebut Trayodasakārana ( tiga  belas penyebab) ditambah triguna yaitu sattwa, rajah, dan tamah. Lalu para Dewa dan para Rsi  juga menempati bagian-bagian-bagian tubuh kita sepeti :

  • Bhatāra Brahmā menempati hati
  • Bhatāra Wisnu menempati  empedu
  • Bhatāra Iswara pada jantung
  • Tempat Panca Rési
  • Sang Kusika  pada  kulit
  • Sang Garga pada darah dan daging
  • Sang Maitri pada lemak, otot.
  • Sang Kurusya pada tulang, sumsum
  • Sang Werttanjaya pada otot, daging.

Tempat Dewaresi

  1. Sanghyang Maheswara pada buah pelir
  2. Sanghyang Sadasiwa pada kandung kemih
  3. Sanghyang Paramasiwa pada dada.

Tempat Saptaresi

  1. Aditya  pada mata kanan
  2. Soma  pada mata kiri
  3. Anggara pada telinga kanan
  4. Budha pada telinga kiri
  5. Wrehaspati pada hidung kanan
  6. Sukra pada  hidung kiri
  7. Saniscara pada mulut.

Tempat Dewata Yaitu :

  1. Hyang Indra  pada dada
  2. Hyang Yama  pada tangan kanan
  3. Hyang Waruna  pada punggung
  4. Hyang Kubera pada tangan kiri
  5. Hyang Waisrawana  pada pinggang.

Tempat Widhyadara yaitu :

  1. Citrasena sebagai keberanian
  2. Citranggada sebagai keperwiraan
  3. Citraratha sebagai keteguhan  hati
  4. Gandharwa adalah sebagai ketenangan, kepuasan, keindahan, kegirangan, kelangenan, itulah tempatnya  sattwa.

Tempat  Rajah yaitu :

  1. Danawa sebagai kekerasan, kecepatan, panas yang keras.
  2. Daitya sebagai kemarahan, kebencian, kesedihan.
  3. Raksasa sebagai  kebingungan, penipuan , iri,  kelancangan, kekuasaan.

Tempatnya Tamah yaitu :

  1. Bhūtayaksa sebagai lapar, kelelahan dan haus.
  2. Bhūtadengen sebagai  keletihan,  kelesuan, sakit.
  3. Bhūtakala sebagai kenyang, amat kenyang, mabuk.
  4. Bhūtapisacab sebagai lemah, enggan, kotor, kantuk,  tidur, bodoh.

Tempat “Pada” yaitu :

  1. Jāgrapada menyebabkan ātmā bangun dari tidur pada diri manusia.
  2. Suptapada menyebabkan ātmā tidur.
  3. Swapnapada  menyebabkan  ātmā dapat mimpi, mengigau pada dii manusi.

               Badan Sanghyang ātmā adalah  Pradhānatattwa yang disebut ambék. Ambék  dan  tubuh  itu disebut anggrapadhana. Dari  ambéklah  timbulnya suka  duka, baik dan buruk. Ambéklah yang  menikmati  obyek kenikmatan  itu melalui  dasendriya. Maka harus ditarik dari obyek  kenikmatannya., kembalikan  kedalam  ambék, ambék kedalam  pramanā, pramāna  ke dharamawisesa, dharmawisesa  kedalam antawisesa, antawisesa ke dalam anatawisesa.

               Cara mengembalikan  itu  oalah dengan Prayoga Sandhi yang dapat dilaksanakan dengan tuntunan Samyagjnāna. Samyagjnāna hanya akan diperoleh melalui  tapa, yoga,  dan samādhi. Yang dimaksud  dengan prayogasandhi  ialah āsana, prānayama,  praktyāhara,  dhārana, dhyāna, tarka dan samādhi. Bila Sang  Yogiswara telah menemukan samādhi itu, ia  dikatakan telah memiliki ka-astaiśwaryan.  Astaiśwaryan itu meliputi : alima, laghima, mahima, prapti, prakāmya, isitwa, wasitwa,  dan yatrakāmawasayitwa. Bila endapan  sattwa sudah  tidak ada lagi, maka saat itulah Sang Yogiswara berpisah dengan panca mahabhuta dan kembali  menyatu dengan Bhatāra Paramaśiwa