Pengaruh Meditasi pada Budaya

Artikel Anggota

Bersamaan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkat pula prilaku ‘materialis-konsumtif’nya. Bila apa yang kita lakukan/perbuat atas dasar pemikiran seperti ini, kita telah kehilangan MOTIVASI-SPIRITUAL kita, bila ini telah hilang, kita akan ‘kekeringan rohani’; inilah yang kita kenal dengan istilah MOHA.

Kesimpulan kita adalah :

  • pelaksanaan Susila, tak boleh lepas dari Semadhi dan Panna;
  • praktek Upakara, mutlak perlu didasari oleh Sila yang ditunjang oleh Panna; dan
  • Tattwa, hanya datang melalui Semadhi dan termanivestasikan berupa Sila.

Demikianlah semestinya kita membahasakan JALAN UTAMA itu; bukan dengan cara yang lainnya. Bagi Sang Paramartha, ini terpancar melalui cahaya dari setiap “pemikiran, perbuatan dan perkataannya” yang telah di-Visuddhi. Dengan ini saya akhiri bagian ini; dengan harapan dan pesan : “Perhatikan dan cermati setiap kejadian dalam diri dan di sekitar anda, ia akan berceritra panjang lebar pada anda.”
UPAYA -UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN DALAM MENINGKATKAN APRESIASI MEDITASI .

Sebagai umat, apakah kita telah menerapkan ajaran ? Bila sudah, bagaimana yang anda sebut praktek itu ?; dan bagaimana masyarakat kita mempraktekannya saat ini ?.
Inilah pertanyaan pertanyaan yang perlu dijawab. Melalui perhatian dan mencermati, marilah kita coba menjawabnya satu persatu. Pertama tama, saya ingatkan lagi terhadap tiga KERANGKA DASAR Ajaran yaitu :

  • Susila,
  • Upakara, dan
  • Tattwa.

Adalah gejala umum, bahwa bila ngomong dan hanya ngomong, apalagi di forum tidak resmi, semua orang pitar dan bahkan banyak yang mintari. Namun pelaksanaan atau kenyataannya kosong; ini disebut OMONG KOSONG, bukan?. Yang seperti boleh terjadi di jaman ORDE BARU, sekarang tidak dan mulai sekarang hingga kapanpun tidak !.Upaya disini kita tropong dari 2-Aspek pokok, yaitu Upaya Melaui Pikiran dan Upaya Melalui Tindakan.

  1. Melalui Pikiran, dapat dilakukan secara Verbal dan Tulisan;
  2. Melalui Tindakan’ dilakukan dengan :
  3. Penyenggaraan Pelatihan,Kursus Kilat dan yang sejenis
  4. Kaderisasi Para Generasi Muda
  5. Penyuluhan Lapangan, bekerja sama dengan Lembaga Sosial Keagamaan yang ada
  6. Menginventarisir Peninggalan Kuno yang terkait (umumnya dilakukan oleh Institusi Pemerintah),
  7. Menterjemahkan, Mencetak dan Menerbitkan Naskah-naskah yang Relevan * Mengadakan Kerjasama dengan Berbagai Aliran, Perguruan yang ada, hidup dan berkembang di masyakat,
  8. Dan lain sebagainya.

Jadi, banyak sebenarnya yang dapat kita lakukan dalam hal ini; disadari ataupun tidak, itu adalah KEWAJIBAN setiap Umat secara individual maupun Kolektif. Sudah tak jamannya lagi sekarang berpangku tangan dalam hal ini, kita tak mungkin tidur-tiduran semetara sahabat yang lain berlari, dan kemudian setelah bangun, berteriak-teriak: “Tunggu……..tunggu……..tunggu!”. Nah, intinya adalah berbuat dan bekerja apa saja sesuai dengan yang kita bisa dan

kemampuan. Kini bila diamati yang terjadi dilapangan, berdasarkan pokok-pokok diatas, kita jadi bengong; karena kini sudah terjaga, akan tetapi diam ditempat tidur tanpa beranjak kemana-kemana.Mengenai kondisi kita ini, saya teringat anekdot para Arkeolog begini: “Bila Profesor mau tahu tentang PIRAMIDA belajarlah ke JEPANG, jangan ke MESIR !”. Demikianlah kira-kira kondisi kita saat ini. Kita banyak belajar sejarah Nusantara dari Sarjana China, Belanda, dan Portugis dimana kita mendapatkan banyak catatan-catatan dan dokumen-dokumen penting. Kalau kejadiannya Begini terus kan gawat; lantas di mana para peneliti dan akhli-akhli kita bersembunyi?.Menampak fenomena ini, saya merasa benar-benar tertantang bercampur sedikit malu.

Seperti telah dikatakan sebelumnya; kita telah bangun namun belum beranjak, mau beranjakpun belum tahu harus melangkahkan kaki yang mana terlebih dahulu dan kemana arah tujuan kita. Sementara rekan-rekan kita telah berlari kencang dan sudah tak tampak bayangannya lagi.
Ini sungguh memprihatinkan adanya. Secara jujur mesti kita akui bahwa kita mandek dalam hal ini, bila dibanding rekan yang lain, pasif dan kurang Proaktif, itu kira-kira kondisi konkretnya. Jaman mengajari kita untuk bersikap inovatif dan pragmatis dalam memandang kondisi kita sendiri, secara lebih Proaktif lagi. Bila pertanda jaman ini kita abaikan (apalagi langgar) tentu kita digilasnya dan menjadi lebur, tidak pada saatnya yang tepat.

Bila jaman telah memanggil dan mengharapkan pertisipasi kita, maka sebaiknya kita mengambil ancang-ancang, bukan ikut-ikutan. BIJAK dalam membaca pertanda jaman atau situasi adalah suatu KEKEUATAN juga adanya. Mengambil sikap yang sesuai, menggulir dinamika positif. Saya yakin, bahwa setiap upaya pasti ada hasilnya; betapa kecilpun suatu upaya pasti ada hasilnya.
Bila kita tak mencobanya, biasanya kita belum bisa meyakininya. Jadi kita mesti bertindak progressif dalam hal ini; kepasifan telah membuat kita kecolongan disana sini. Saya akhiri tulisan ini, dengan harapan dapat menggugah serta menyadarkan (ngentenin-bhs.bali) atas situasi yang ada.

 

Shanti citta,
Adhi Cetanananda.