Apakah yang Disucikan ?

Artikel Anggota

“Penyucian adalah upaya didalam membersihkan setiap dan semua kotoran batin, dari yang kecil hingga yang besar, dari yang kasar hingga yang halus; sementara itu juga melapisi bagian-bagian yang telah hilang kotorannya dengan lapisan pelindung sehingga dikemudian hari ia menjadi licin dan tak terlekati oleh kotoran”.

 

Jadi kesimpulannya adalah UPAYA ini, berdemensi 2-arah yakni:

  • Membersihkan Kekotoran Batin;
  • Menjaga agar yang telah bersih tetap bersih.

Yang pertama mencakup kegiatan:

  • mendeteksi kekotoran,
  • memahami keketoran,
  • mencari jalan dan berupaya membersihkanya.

Sedangkan yang kedua, mecakup:

  • mawas diri,
  • senantiasa eling dan waspada terhadap setiap pola pergerakaknya dan
  • membatasinya bila dipandang perlu.

Jadi ia dapat pula kita katakan sebagai tindakan preventive kita.
Apabila kita telah memandangnya seperti itu, maka akan jelas tertampak langkah-langkah yang perlu dilaksanakan, didalam rangka menyucikan batin kita.
Bila diibaratkan , seorang tentara atau prajurit tentu ke medan tempur dengan persiapan dan persenjataan betapa mestinya serta dalam jumlah yang secukupnya. Nah, …. secara keseluruhannya saya sebut sebagai PERSIAPAN MENTAL.

Yang mesti disucikan menyangkut tiga aspek perbuatan (Karma) yakni:

  1. perbutan” Pikiran”,
  2. perbutan melalui “ucapan/perkataan”, dan
  3. perbuatan fisik” lainnya (mengunakan lima indriya motorik).

Inilah 3-aspek perbuatan yang mesti disucikan.

Kini, jelas bahwa ‘yang disebut perbuatan itu, tidaklah semata perbuatan fisik yang kasat indriya, namun perbuatan Pikiran-pun3 juga berupa Karma’; bahkan perbuatan melalui pikiran ini akan memberi pengaruh kuat pada yang lainnya. Ia dapat dikatakan sebagai motor pendorong dari terjadinya perbuatan yang lainnya.
Setiap perbuatan, pasti didahului oleh pikiran dan bentuk-bentuk pikiran; seperti yang telah diungkapan sebelumnya.

Pada MANAH, semua itu terpolakan, dialah yang memeritahkan lebih lanjut AHAMKARA; selanjutnya AHAMKARA memerintahkan AMBEK dan seterusnya terjadi UCAPAN atau TINDAKAN.

Untuk mengawali suatu UPAYA baik maupun buruk, dibutuhkan KESIAPAN dari individu yang melakukan/melaksanakan UPAYA itu. Dengan persiapan yang memadai, amatlah jarang suatu UPAYA tidak berhasil dengan baik, di sisi lain, jenis ataupun bentuk upaya, tergantung itikad yang melatar belakanginya.

Tidak jarang kita menyalahkan ini dan itu, kalau suatu upaya kita GAGAL. Kecendrungan untuk mencari kambing hitam, atas kegagalan seseorang adalah amat tipikal bagi orang umum. Sebaliknya, manakala sukses, kita akan menepuk dada dihadapan setiap orang, dan inipun lumrah terjadi pada kita dan orang-orang sekitar kita. Yang begini, sebenarnya belum siap secara mental untuk terjun dalam arus penyucian.

Tingkat kesiapan seseorang dalam hal ini, tercermin dari sikap-sikapnya yang menunjukan PERTOBATAN. Namun bila kita “tidak merasa” telah melakukan sesuatu yang tidak benar atau keliru, lantas apa yang mesti dipertobatkan? Bahkan bilamana kekeliruan kita di tunjuka pada kita (apalagi secara frontal dan diketahui banyak orang, tentu kita jadi tersinggung, padahal hati kecil kita tahu betul bahwa itu adalah bena-benar keliru.

Pertobatan seseorang, menyatakan KESADARANnya. Lebih mengkhusus lagi adalah CETANA (sadar akam mana yang sunyata dan mana yang maya) tentang SAMSARA, KARMA-PHALA, DUKHA (derita).

Apabila kita sadari betul, terlampau banyak yang mesti kita perbuat dan upayakan dalam fase PERSIAPAN ini. Kecuali kita hanya main labrak saja, dan berani mengambil resiko besar atas KEGAGALAN, kegagalan disini juga berarti KESESATAN dan terjerumus selamanya dalam kondisi ACETANA (tanpa kesadaran spiritual).

ACETANA, akan melestarikan MOHA (kebingungan dan kemabukan) kita, yang pada gilirannya memperkuat LOBHA (keserakahan) dan DWESA (kebencian dan dendam). Bila telah begini situasi dan kondisi kita, maka SAMSARA dalam tak berhingga kali kelahiran adalah yang paling sesuai dan layak bagi kita; namun justru ingin diakhiri oleh SANG SADDHU.
PERLUKAH BIMBINGAN GURU?
Keberadaan seorang Guru sebagai pembimbing serta pelatih yang handal adalah amat penting. Perlu dimaklumi Guru tidaklah menyucikan siapapun juga kecuali batin beliau sendiri. Dalam hal ini Beliau hanya sebagai pembimbing dan penunjuk jalan menuju PENSUCIAN serta siap melatih dalam praktek PENSUCIAN tersebut.

SANG BUDDHA pernah bersabda kurang lebih sebagai berikut:
“Kamu, tak perlu mempercayai sesuatu oleh karena:
banyak yang yang menyebut atau berpendapat demikian,
telah merupakan tradisi,
dikatakan oleh seseorang yang dipercaya secara luas oleh masyarakat,
dikatakan oleh orang tuamu atau yang kamu tuakan,
bahkan, karena Gurumu mengatakan seperti itu.
Namun, percayailah ia oleh karena kamu telah kamu renungkan KEBENARANNYA”,
BAIK BAGIMU, BAGI ORANG DISEKITARMU; dengan cara seperti itulah hendaknya kamu mempercayainya untuk lebih lanjut meyakininya.”
Memang ini terdengar amat demokratis dan terbuka, cara pengajaran olah pikir, dan olah batin, semestinya seperti itu cara pengajarannya.Ia mesti berupa suatu SISTEM yang dapat merangsang setiap penganutnya untuk menemukan KEBENARAN, pada batinnya sendiri. Sebab dengan hanya membeo (meniru-niru) ucapan Sang Guru tanpa faham betul akan maknanya, bahkan dapat menjebak kita pada FANATISME (yang membuta), bahkan KESESATAN.

Seorang Guru yang handal tak akan berpandangan seperti diatas; bukan menggiring siswanya pada patok-patok mati tanpa memberinya kesempatan untuk berkembang. Tanpa melalui pengembangan batin secara MANDIRI, tak akan diperoleh KEBIJAKSANAAN itu. Padahal, bimbingan Sang Guru kearah inilah yang kita butuhkan.

Pada dasarnya, MANUSIA adalah pribadi yang komplek, dengan kekhususannya masing-masing; oleh karenanyalah tak dapat dijendralisir atau distandardisasikan secara batiniah. Sepanjang kita berbicara masalah batin, maka Hukum tersebut tetap berlaku, “tak ada yang mutlak pasti”.

~Adhi Cetanananda~